Blue Dragonfly - Chapter Two



Chapter Two – Pertemuan Pertama

kisah sebelumnya Chapter One

Pandangan Kirana masih tertuju pada layar ponselnya. Kirana me-refresh akunnya sekali lagi. Status Aldo baru 15 menit yang lalu di-posting. Kirana sangat ingin menulis komentar pada status Aldo. Namun urung dilakukannya. Bagaimana jika Aldo tidak ingin Kirana berhubungan lagi dengan dirinya? Kalau memang begitu faktanya, mengapa tidak sekalian saja hapus aku dari daftar teman, pikir Kirana.

Tapi tetap saja, Kirana lebih memilih tidak mengomentari status tersebut. Kirana ingin menceritakan hal ini kepada Femi lebih dulu. Siapa tahu, sahabatnya itu bisa memberi saran yang tepat. Sebelum menutup akun facebook-nya, Kirana menulis status terbaru. ‘Going on to sport center. Swim all day long.’

Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi klakson mobil. Kirana mengintip dari balik jendela kamar. Ternyata itu mobil Femi.

Baru saja masuk mobil, Kirana langsung disodori bungkusan oleh Femi. “Nih aku bawain roti sama minuman isotonik. Yang jual gorengan lagi tutup seminggu. Lagi mudik, katanya.” Lalu mereka segera berangkat agar bisa terhindar dari macet.

“Ran, tebak deh,” ujar Femi tiba-tiba.

“Ada apa?”

“Ada seseorang yang udah setahun lebih gak nongol di facebook. Tapi sekitar setengah jam yang lalu, dia nulis status barunya. Coba tebak!”

Aldo. Tapi Kirana hanya menjawab dalam hati. Akhirnya Kirana hanya menggelengkan kepala.

“Kamu belum buka facebook hari ini?” tanya Femi lagi.

“Belum,” Kirana berbohong.

“Aldo. Aldo balik ke Indonesia hari ini. Aku baca di status terbarunya kayak gitu. Tapi aku belum berani nulis komentar. Takutnya, itu bukan Aldo yang bikin status. Ya…, sapa tau aja akunnya lagi di-hack orang lain. Soalnya kan Aldo udah setahun lebih gak pernah buka facebook,” jelas Femi panjang lebar.

Ekspresi wajah Kirana datar saja. Dia tidak terkejut dengan kabar yang dibawa Femi. Karena memang Kirana sudah mengetahui hal itu.

“Kok diem aja sih?” tanya Femi.

“Terus aku harus apa? Loncat-loncat kegirangan?!”

“Ya, enggak segitunya. Paling nggak kan kamu bisa kasih komentar. Aldo kan pacarmu.”

“Mantan… pacar,” tegas Kiarana.

“Mmm…, sori deh,” balas Femi. “Aku sih masih berharap kalian bisa bersatu lagi.”

Aku pun berharap begitu, kata Kirana dalam hati.

Keduanya terdiam sepanjang sisa perjalanan. Femi tidak melanjutkan lagi obrolan tentang Aldo. Femi mengerti betul apa yang terjadi dengan Kirana di masa lalu.

Sampai di sport center, mereka berdua kecewa. Karena ternyata area kolam renang di sport center ditutup sementara untuk perbaikan fasilitas dan baru dibuka kembali minggu depan.

“Yaaa…, gimana dong, Ran? Udah dateng jauh-jauh, ternyata ada perbaikan.”

“Ya, mau gimana lagi? Masa mau maksa masuk?!”

“Terus gimana? Kita pulang lagi?”

“Kita ke kafe biasanya yuk. Kan sayang, udah capek-capek di jalan, masa harus pulang dengan tangan kosong.”

Mereka berdua kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke kafe langganan mereka. Sampai di kafe, mereka memilih meja di tepi ruangan, dekat dengan dinding kaca. Dari meja itu, terlihat jelas pemandangan sebuah taman yang berada di halaman belakang area kafe tersebut. Di taman itu juga disediakan beberapa pasang meja dan kursi, khusus bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana outdoor.

Segera setelah mereka duduk, datang seorang gadis pramusaji memberikan daftar menu.

“Kamu pesan apa, Ran?”

“Hmm…, apa ya? Gak pengen makan berat sih. Ah, ini aja. Hot cappucino dan brownies kukus satu slice aja. Makasih,” ucap Kirana sambil menyerahkan kembali daftar menu kepada pramusaji.

“Saya juga sama, Mbak. Hot cappucino satu,” kata Femi. “Sama pizza vegie dua slice. Thanks.”

Gadis itu tersenyum sambil menulis pesanan Kirana dan Femi. “Maaf, saya ulangi lagi pesanannya. Hot cappucino, dua. Brownies kukus satu slice dan pizza vegie dua slice. Ada lagi yang mau ditambahkan?” tanya gadis itu.

“Itu aja, Mbak,” jawab Kirana sambil melirik ke arah Femi.

“Yap,” tambah Femi.

“Oke. Ditunggu sepuluh menit. Nanti pesanannya akan diantar oleh rekan saya yang bernama Ariyan.”

Kirana dan Femi mengangguk tanda setuju.

“Ariyan. Nama yang unik,” kata Femi. “Eh, Ran, coba perhatiin deh,” tambahnya lagi.

“Ada apa?”

“Seragam pramusaji kafe ini kayaknya diganti deh. Perasan, beberapa hari lalu kita ke sini, seragamnya masih kaos lengan panjang, rompi kotak-kotak, dan celana panjang kain katun. So old fashion. Tapi sekarang, mereka pakai kaos lengan pendek dan celana jeans. Lebih simpel. Aku suka itu.”

“Iya, ya. Aku baru nyadar.”

Tak lama kemudian, pesanan datang. Kali ini yang mengantarkan pesanan adalah seorang pramusaji pria. Usianya sekitar awal dua puluhan dan wajahnya seperti peranakan kaukasia.

Pramusaji itu meletakkan minuman di hadapan Kirana dan Femi. Ada satu hal yang mengusik perhatian Kirana. Di lengan kanan pramusaji itu terdapat tato berwarna biru. Namun karena tangannya bergerak cepat, jadi Kirana tidak dapat melihat dengan jelas bentuk dari tato itu.

“Maaf, Mbak. Bisa dicek lagi pesanannya. Semua sudah lengkap?” tanya pramusaji.

“Sudah, Mas,” jawab Femi.

“Baik. Apa ada tambahan yang lain?”

Sorry, Mas,” potong Kirana. “Boleh saya lihat tato yang di lengan kanan Mas?”

Femi kaget. Dia memandang Kirana dengan heran. Buat apa Kirana menanyakan tato orang lain?

Kirana sadar, Femi sedang memperhatikan dirinya dengan heran. Lalu Kirana mengubah mimik mukanya agar Femi, dan pramusaji itu tentunya, tidak bertambah heran.

“Hehehe…. Saya cuma penasaran sama bentuknya. Tadi cuma sekelebatan aja keliatan.” Kirana tersenyum kepada keduanya.

“Oooh…,” tambah Femi.

Si pramusaji kemudian memperlihatkan tato di lengan kanannya.

‘Hah!!!’ pekik Kirana dalam hati. Betapa terkejutnya Kirana. Ternyata tato berwarna biru itu berbentuk capung.

artikel juga bisa dilihat di sini

0 comments:

Post a Comment