Blue Dragonfly - Chapter One



Chapter One – Berawal Dari Sebuah Mimpi

Pria itu berdiri di hadapan Kirana. Lama sekali mereka berdua terdiam. Berdiri di antara kerumunan orang-orang di suatu koridor sebuah mall.

“Tenang saja. Aku tidak akan menyakitimu,” ucap pria itu sambil memegang tangan Kirana.

“Tapi aku tidak mengenalmu,” kata Kirana.

Pria itu tersenyum. “Nanti pasti kau akan mengenalku. Kalau sudah mengenalku, aku yakin kau akan mempercayaiku. Dan kemudian kita bisa hidup bersama.”

Kirana bertambah bingung dengan perkataan pria itu. Bagaimana mungkin bisa hidup bersama kalau tidak saling mengenal, pikir Kirana.

“Lihatlah ini,” kata pria itu sambil menunjukkan sebuah tato di lengan kanannya. Tato itu berbentuk capung dengan keseluruhan warnanya adalah biru. “Ini blue dragonfly,” lanjut pria itu. “Carilah! Maka kau akan menemukan pasangan hidupmu.”

Perlahan pria itu melepas genggaman tangannya pada Kirana. Sambil tersenyum, pria itu seolah berjalan mundur menjauh dari Kirana.

Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih terbentuk, Kirana memberanikan diri untuk berteriak. “Siapa namamu? Aku belum dengar siapa namamu.”

Pria itu menjawab, namun suaranya bagaikan tenggelam oleh hiruk pikuk orang-orang di sekitarnya.

Kirana terduduk lemas. Seolah ikut tenggelam ke dalam kerumunan orang-orang. Kini ia tidak tahu di mana ia berada. Pandangannya kabur. Tiba-tiba saja, tempat ia berada berubah menjadi padang rumput yang hijau. Di tepian padang, terdapat kumpulan tanaman yang berbunga beraneka ragam.

Dari kejauhan muncul sosok sepasang manusia, pria dan wanita. Dan setelah dua sosok itu mendekat, barulah Kirana sadar bahwa mereka memakai pakaian pengantin. Si pria memakai setelan jas berwarna putih dan wanitanya memakai gaun pengantin yang juga berwarna putih.

Namun yang lebih membuat Kirana tercekat, ternyata dia melihat dirinya sendiri yang sedang memakai gaun pengantin tersebut. Dan si pria adalah orang yang sama yang menunjukkan tato pada lengannya tadi.

Kriiing… Kriiing… Kriiing… Ponsel Kirana berbunyi, ada telepon masuk. Kirana membuka mata dan meraih ponsel dari meja kecil di samping ranjangnya. Kirana memperhatikan sejenak layar ponselnya dan membaca nama siapa yang tertera di situ. Ternyata Femi yang menelepon.

Ada apa Femi menelepon pagi-pagi seperti ini? Apa Femi lupa kalau Kirana tidak ingin diganggu pada saat akhir minggu seperti sekarang ini. Ada apa sih, pikir Kirana.

“Halo. Ada apaan, Fem? Udah lupa ya kalo aku gak mau diganggu pas weekend?!” tanya Kirana dengan nada kesal.

“Lha, kamu sendiri yang lupa, kali,” balas Femi tak kalah kesalnya. “Kamu kan punya janji sama aku hari minggu ini. Aku nelpon sampe tiga kali, gak diangkat juga. Mimpi apaan seh, sampe betah gitu tidurnya?”

Mimpi?! Aku tadi bermimpi, batin Kirana. Kali ini kesadarannya sudah benar-benar terkumpul di otak. Tadi aku bermimpi tentang pria itu, ucap Kirana dalam hati.

“Ran…!!!” panggil Femi dari seberang telepon. “Yee…, malah ngelamun. Kamu lupa ya kalo kita janjian ke sport center buat berenang? Kan kamu sendiri yang ngusulin kemarin.”

“Hah?! Berenang? Masa sih?!” tanya Kirana heran.

“Kirana!!!” teriak Femi lebih kencang lagi. “Kalo o’on jangan disemuain dong!! Bagi-bagi dikit buat yang lain juga.”

“Yee…, apaan sih?”

“Jadi apa enggak nih, berenangnya? Kalo jadi, nanti aku jemput kamu jam sembilan. Gimana?”

“Iya, iya. By the way, sekalian nitip gorengan yang deket rumahmu tuh, buat cemilan di jalan ntar ya. Hehehe….”

“Hadeeeh…, makanan mulu. Iya, nanti aku beliin. Cepetan siap-siap ya.”

“Oke deh.”

Kirana meletakkan ponselnya di atas meja. Lalu dia beranjak turun dari ranjangnya untuk mandi.

Pukul 8.30, Kirana sudah siap. Masih ada waktu setengah jam sebelum Femi datang menjemput.

Kirana duduk dan membuka akun Facebook lewat ponselnya. Setelah beberapa menit, Kirana berkomentar sendiri. “Ah, orang-orang ini pada lebay semua. Bikin status pada hiperbolis banget. Pada gak ngerti kali ya, kalo facebook tuh media umum. Hal-hal pribadi kok malah di-publish terang-terangan. Siapa juga yang peduli sama menu makanan mereka hari ini? Atau baju apa yang akan mereka pakai ke party nanti malam? Sooo… ridiculous.”

Kiarana me-refresh akunnya. Ada beberapa status baru yang muncul. Namun, mata Kirana tertahan pada satu nama yang sudh berbulan-bulan tidak pernah memperbarui statusnya. Dia adalah Aldo, mantan pacar Kirana.

‘I’m going home today.’ Begitulah bunyi status Aldo.

Sedikit gambaran tentang hubungan Kirana dan Aldo. Mereka mulai berpacaran tiga tahun lalu. Aldo adalah teman sekantor Femi. Jadi jelaslah dari mana Kirana mengenal Aldo. Dua tahun lalu, Aldo memutuskan untuk mengambil jenjang master di Melbourne. Tiga bulan pertama sejak Aldo di Melbourne, mereka berdua masih saling kontak. Entah itu lewat sms, email, atau pun chat via facebook. Namun suatu hari, Kirana mendapat email dari Aldo yang isinya, “Jangan hubungi aku lagi lewat apapun.”

Hanya itu saja, satu kalimat. Tentu saja hal ini membuat Kirana kalang kabut. Pasalnya, Aldo memang sudah tidak dapat dihubungi lewat apapun. Nomor ponselnya sudah tidak aktif. Lalu Kirana membalas email Aldo, tapi yang muncul hanya notifikasi dari admin website tersebut, yang menyatakan bahwa akun email Aldo sudah tidak aktif lagi sejak beberapa jam yang lalu.

Selama satu minggu penuh Kirana tetap mencoba menghubungi Aldo. Hanya akun di Facebook saja yang masih aktif. Namun rasanya Aldo sudah tidak pernah membukanya lagi. Karena sudah ratusan pesan yang Kirana kirimkan lewat inbox di Facebook, tidak ada satupun yang dibalas oleh Aldo.

Kirana juga sempat menghubungi orang tua Aldo yang berada di Semarang. Mereka pun kehilangan kontak dengan Aldo. Hanya Aldo yang bisa menghubungi orang tuanya, dan bukan sebaliknya. Kirana pun semakin bingung. Akhirnya Kirana menyerah. Mungkin Aldo ingin putus darinya, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Atau jangan-jangan Aldo sudah punya wanita lain, pikir Kirana, ah biarlah, aku sudah rela melepas dia.

(bersambung)

Chapter Two

sumber gambar

artikel bisa juga dilihat di sini

0 comments:

Post a Comment