Blue Dragonfly - Chapter Three



Chapter Three – Run… Run… Run…

kisah sebelumnya Chapter Two

Dua minggu setelah kejadian di kafe, keadaan sudah kembali normal. Kirana juga sudah melupakan pria itu dan kembali tenggelam ke dalam tugas-tugas kantornya. Bulan Desember adalah bulan yang sibuk, bahkan mungkin yang tersibuk sepanjang tahun. Semua kegiatan selama setahun ini harus dibuatkan laporan dan disetorkan kepada atasannya.

Hari ini juga, tepat dua minggu sebelum tahun baru 2011. Kirana memutuskan untuk refreshing ke sport center. Seperti biasanya, Kirana ditemani Femi, sahabatnya. Setelah dua minggu lalu mereka gagal berenang, sekarang mereka sudah duduk di tepian kolam renang.

Ada sekitar tiga puluhan orang yang memadati area kolam renang. Lumayan ramai, memang. Selain karena hari ini hari minggu, juga sebentar lagi menjelang liburan sekolah. Ada beberapa keluarga dengan anggotanya lengkap. Ayah, ibu, dan dua atau tiga orang anak. Juga beberapa pasang muda mudi dan sekumpulan bocah laki-laki.

Kirana dan Femi melakukan renang gaya bebas sebanyak dua putaran. Lalu mereka duduk di tepian kolam renang dengan kaki masih terjulur ke dalam air.

“Kamu utang cerita ke aku, Ran,” kata Femi tiba-tiba.

“Hah?! Cerita apa?” tanya Kirana heran.

“Tentang kejadian di kafe dua minggu lalu. Udah lupa?”

“Oh, itu. Bukan apa-apa kok,” jawab Kirana sambil menutupi mimik mukanya yang terlihat seperti orang yang terjebak situasi tidak mengenakkan.

“Kamu bohong,” kata Femi. “Aku tahu kamu bohong.”

Kirana tidak bisa mengelak lagi. Ia lalu bercerita tentang mimpinya tempo hari. Tentang pria dengan tatonya, juga tentang dirinya yang memakai baju pengantin.

“Hahaha…,” Femi tertawa terbahak-bahak.

“Tuh, kan, ngeledek.”

“Haduuuh…, sampe sakit perut nih.”

“Huh!!! Tau gitu, aku gak usah cerita ke kamu. Aku udah nebak, pasti kamu bakal ngeledek aku.”

“Aduh, maaf deh,” kata Femi sambil menahan tawanya. “Jadi, kamu mikirnya pelayan kafe itu laki-laki yang sama dengan yang ada di mimpimu?! Cuma gara-gara tatonya sama?!”

“Ya, aku memang sempat berpikir seperti itu. Apa Tuhan udah ngasih aku petunjuk lewat mimpi? Tapi aku sendiri gak mau terlalu terpengaruh sama mimpi itu. Kalau memang benar, biarlah hal itu datang sendiri. Gak perlu aku yang repot mengejar dan memaksakan diri. Takutnya, itu cuma sekedar false alarm.”

“Iya juga sih. Pria yang punya tato seperti itu kan bisa jadi lebih dari satu orang. Kalo seandainya aja kamu maksa ngejar si pelayan itu, tapi ternyata bukan dia orangnya, wah…, bisa gawat tuh. Hehehe….”

Femi sepertinya tidak tahan untuk tidak tertawa lagi. Baginya, apa yang diceritakan Kirana adalah hal yang lucu. Sangat jarang kejadian di dunia ini yang awalnya merupakan bunga tidur. Tapi karena tawa Femi, Kirana jadi bertambah kesal.

“Ah, kamu ngeledek terus. Mending aku nyebur lagi deh,” kata Kirana.

Pukul 3 sore, mereka memutuskan untuk pulang. Sebelumnya, mereka sempat mampir ke warung bebek goreng untuk makan siang.

“Ran, aku mampir ke tempatmu ya. Sebentar aja,” pinta Femi ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki gerbang kompleks perumahan.

Saat ini Kirana menempati rumah milik pamannya. Sudah lebih dari enam tahun Kirana menempati rumah itu. Pamannya bekerja di Amerika dan sudah berkeluarga di sana. Keluarga besar Kirana tidak mengijinkan rumah itu jatuh ke tangan pihak luar. Artinya, rumah itu tidak boleh dijual. Sedangkan paman Kirana hanya dua tahun sekali pulang ke Indonesia. Akhirnya keluarga besar memutuskan Kirana yang menempati sekaligus merawat rumah itu. Kirana tidak keberatan. Malah dia merasa beruntung karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk indekost. Namun, tanpa sepengetahuan keluarganya, Kirana berniat membeli rumah itu. Dan hanya pamannya yang mengetahui hal itu. Mereka berdua sepakat bahwa Kirana akan membayar rumah itu jika dana yang tersedia sudah cukup. Pamannya pun tidak memberi harga yang berlebihan, mengingat Kirana juga bagian dari keluarga.

Setelah membersihkan diri, Kirana dan Femi bersantai di kamar Kirana. Sambil mendengarkan musik dari band kenamaan luar negeri, mereka melepas lelah setelah seharian berada di luar rumah.

“Ran, kalo seandainya Aldo datang lagi ke sini, apa reaksimu?” tanya Femi tiba-tiba.

Kirana bingung mendapat pertanyaan seperti itu. Seandainya memang benar itu terjadi, tentu saja Kirana tidak siap. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan jika Aldo ada di hadapannya lagi. Bagi Kirana, itu sama saja dengan mengorek kembali luka lama yang saat ini sudah mulai sembuh perlahan.

“Ah, gak mungkin dia ke sini lagi,” jawab Kirana. “Siapa tau aja dia udah punya cewek lagi.”

“Kamu tuh ngeles terus ya. Jawabanmu tuh gak nyambung. Aku kan tanya, kalo Aldo datang ke sini, apa reaksimu?”

“Aku tidak tahu, Fem. Yang jelas, kalo dia gak macam-macam, aku pun akan bersikap baik padanya. Tapi inget! Bukan berarti aku aku masih mengharapkan dia. Karena dia udah seenaknya mengakhiri hubungan ini secara sepihak. Sakit, memang. Tapi aku gak mau terus-terusan mikirin dia.”

“Kalo Aldo maksa ngajak balikan, gimana?”

“Apa untungnya aku nerima dia lagi? Dia udah bikin satu kesalahan besar di mataku. Dan aku yakin, besok-besok dia bisa melakukan kesalahan itu lagi. Parahnya lagi, orang seperti itu jarang sekali merasa bersalah. Sekarang coba bayangkan sendiri kalau kamu yang berada di posisiku. Bayangkanlah bagaimana sakitnya ditinggalkan begitu saja!!”

Tak terasa air mata Kirana bertumpuk di ujung matanya. Kekuatan yang ia bangun selama setahun terakhir ini, perlahan mulai runtuh. Buru-buru Kirana menghapus air mata yang belum turun dari ujung matanya. Ia takut, tetesan pertama itu akan memancing tetesan berikutnya, yang kemudian menjelma menjadi aliran yang tak berkesudahan.

Sementara itu, Femi jadi merasa bersalah pada Kirana. Femi tahu, sahabatnya itu sudah berjuang cukup keras untuk melupakan Aldo. Namun, nampaknya hari ini Femi salah memilih topik pembicaraan. Dia telah memaksa Kirana membuka kembali lembaran-lembaran masa lalu. Memunculkan lagi rasa yang tidak ingin dirasakan oleh siapapun di dunia ini.

“Aku minta maaf, Ran. Aku yang salah. Gak seharusnya aku tanya hal itu. Sekali lagi, aku minta maaf.”

“Ah, sudahlah. Pertanyaan itu kan memang gak mungkin aku hindari. Faktanya memang Aldo sudah pulang ke Jakarta. Tapi aku gak yakin Aldo akan mencari aku lagi.”

Tiba-tiba terdengar deru mesin motor di depan rumah. Pengemudinya berhenti dan membuka pagar rumah Kirana yang memang kebetulan tidak terkunci. Lalu dia memarkir motornya di samping mobil Femi.

Orang itu belum melepas helmnya ketika mematutkan letak motornya. Tapi dari perawakan dan pakaiannya, dia adalah seorang pria.

Kirana dan Femi berjalan keluar menuju teras rumah. Si pria itu pun sudah melepas helmnya.

“Aldo!!” Kirana terperanjat melihat sosok itu di hadapannya.

“Hai, Ran,” sapa Aldo.

Perasaan Kirana mulai tidak menentu. Marah, sedih, senang, kecewa, benci, semua berkumpul di satu titik. Kirana bingung memilah-milah perasaan mana yang harus ia munculkan lebih dahulu. Namun, ada satu suara yang berteriak paling lantang di otak Kirana.

Run… run… run…, Kirana!!! Kejar kembali cintamu!!! Dan jangan sampai terlepas lagi!!!

(bersambung)

Chapter Four

sumber gambar

artikel bisa juga dilihat di sini

0 comments:

Post a Comment