Sudah
sekian purnama Ru pergi, sekian purnama pula aku tidak melihat wajahnya.
Biasanya, aku akan ke taman kota untuk mengusir resah, menyerap energi dari
hijaunya dedaunan di sana. Duduk berjam-jam di undakan monumen, hanya untuk
mengulang segalanya. Meskipun pada pengujung hari, aku tidak peduli pada diriku
sendiri. Aku akan tetap menjalani ritual yang sama. Bekerja, pulang, lalu
bermimpi.
Hingga hari
itu, aku terjebak antara mimpi dan kenyataan. Aku melihat wajah Ru.
Hanya
wajahnya.
Aku
mengerjap sekali, berharap wajah itu hilang dari pandanganku, tetapi tidak
berhasil. Kerjapan kedua malah membuat aku melihat torsonya. Dan, kerjapan
ketiga membuat aku sadar, Ru memang berada di hadapanku.
Wajahnya
agak berbeda. Mungkin karena cambang tipis yang tumbuh di wajahnya. Aku tidak
tahu kalau Ru bercambang. Selama aku mengenal lelaki itu, wajahnya selalu
bersih. Namun, sorot matanya tetap sama. Sorot yang selalu meneduhkanku, sorot
yang mampu membuatku menarik otot-otot di sekitar bibirku. Ru tidak pernah gagal
membuatku tersenyum. Seperti kali ini.
“Ayo kita
ke taman, Moy,” ajaknya.
Ru begitu
saja menarik lenganku tanpa menunggu aku menjawab ajakannya. Itu tidak perlu,
mungkin, sebab aku tidak pernah menolak.
Rumput-rumput
di taman kota masih berbalut embun ketika aku dan Ru menjejakkan kaki di sana.
Ini baru pukul enam pagi, ngomong-ngomong. Langit masih temaram dan udara masih
sedikit membekukan lubang hidung. Ini bulan Juni, apa yang bisa kauharapkan
soal cuaca hangat? Tidak akan ada.
Ru memungut
satu kuntum jepun yang tergeletak di rumput. Kelopaknya masih segar, mungkin
belum lama gugur. Ru memberikannya begitu saja padaku, lalu ia kembali
berjalan. Aku menikmati pemandangan punggungnya yang tegap. Aku tahu, aku akan
berlama-lama memaku mataku pada punggungnya, seperti yang sudah-sudah.
“Moy,
berhentilah membuatku takut,” kata Ru tiba-tiba.
Aku
tertawa.
“Apa yang
membuatmu takut, Ru? Aku tidak pernah memakai topeng lagi.”
“Senyummu
membuatku takut, Moy.”
“Senyumku?”
Ru mendekat
hingga nyaris tak berjarak denganku. Kini, aku yang mulai takut. Bukan karena tatapan
mata orang-orang di sekelilingku, tetapi karena aku tahu, setelah ini, mungkin
masih sekian purnama lagi aku bisa mendapati wajah Ru yang hanya sejengkal
dariku.
“Apa kamu
tidak sadar, Moy, kalau senyummu bisa meneduhkan langit?”
Oh, my!
Aku merasa
kaki-kakiku tenggelam, jantung lepas dari sarangnya, dan paru-paruku pensiun
meminta oksigen. Aku ingin teriak meminta tolong, tetapi tenggorokanku
tercekat. Yang ada, bibir Ru menempel begitu saja di dahiku. Lalu, jutaan
kembang api meledak di atas kepala kami.
(Artikel pertama tayang di Kompasiana)
0 comments:
Post a Comment