Belakangan ini
kita kerap menjumpai sebuah karya, khususnya novel, yang digarap oleh dua orang
atau lebih. Mungkin yang muncul di benak kita adalah, bagaimana proses
menulisnya? Bisa macam-macam, tergantung kesepakatan para penulisnya. Pengalaman
saya dulu, saya mengerjakan bab pertama, lalu rekan saya menyambung dengan bab
dua, kembali lagi ke saya untuk bab tiga, dan seterusnya sampai karya tersebut
kami putuskan untuk tamat.
Ada lagi jenis
kolaborasi yang lain, yang dipadukan juga dengan unsur estafet seperti yang
pernah Fiksiana Community gelar beberapa tahun lalu. Tiap bab dikerjakan oleh
penulis yang berbeda. Jadi, jika seluruhnya ada lima belas bab, maka jumlah
penulisnya pun ada lima belas. Yang kurang ajarnya adalah, karya tersebut
dibuat tanpa menggarap lebih dahulu kerangkanya. Panitia hanya memberi tema. Beruntunglah
yang mendapat giliran pertama, dan yang apes tentu saja yang paling buntut. Tapi
yang lebih mumet lagi ya editornya. Sebab harus mencocokkan detail-detail yang
muncul di tiap bab. *paragraf mengandung tsurhat colongan*
Nah, buat yang
masih bingung ingin menulis sendiri atau keroyokan, saya jembreng rangkuman
perbandingan keduanya.
Karya Tunggal
1. Sebuah karya tunggal tentu saja berpunca dari
ide satu orang. Kalaupun si penulis mendapat sedikit wangsit untuk karyanya
ketika sedang mengobrol dengan seorang teman, tidak bisa serta-merta si teman
jadi rekan duet menulis. Si teman hanya memberi satu unsur bahan mentah dan si
penulis mungkin harus mencari bahan mentah lainnya agar masakannya matang.
2. Semua tugas (riset, menulis, dan self-editing)
dilakukan oleh satu orang. Mungkin akan terasa berat karena durasi pengerjaan
jadi lebih lama. Tapi, bagi yang berjiwa soliter, mungkin ini lebih mudah,
karena nggak bakal ada yang ngerempongin di tengah jalan. Halangan terberat
ketika sibuk riset mungkin akibat lewatnya tukang cilok di depan rumah. *itu
mah elu, moy*
3. Penulis dapat mengatur sendiri waktu kerjanya. Mau
dimolor-molorin sampe satu milenium juga nggak papa. *disambit dandang cilok*
4. Jika di tengah jalan si penulis menemukan ide
lain untuk detail tulisannya, ia bisa langsung menambahkannya tanpa perlu kulo nuwun
dulu pada rekannya.
5. Segala penilaian yang muncul setelah karyanya
dipublikasikan menjadi tanggungan si penulis seorang.
Karya Kolaborasi
1. Merupakan hasil kerja dua atau lebih penulis.
2. Bisa berbagi tugas.
3. Durasi pengerjaan mungkin berbatas waktu,
tergantung kesepakatan yang dibuat bersama.
4. Jika di tengah jalan salah satu penulis memiliki
gagasan baru, harus didiskusikan lebih dahulu dengan si rekan sebelum
ditambahkan ke dalam naskah.
5. Penilaian yang muncul setelah karya
dipublikasikan adalah tanggungan bersama.
Lalu, bagaimana
jika karya kolaborasi yang sudah setengah jalan tiba-tiba mogok karena salah
satu penulis memutuskan berhenti bekerja sama?
Pertama, tulisan bisa
diteruskan oleh satu orang. Dengan syarat, izin dulu kepada si rekan. Dalam aplikasinya,
mungkin penulis pertama harus membuang (sebagian atau seluruhnya) gagasan si
rekan yang sudah tidak ikut serta demi menghindari klaim di kemudian hari. Jika
si rekan mengizinkan gagasannya tetap dipakai, jangan lupa cantumkan namanya di
halaman dedikasi. Jangan seperti cilok yang lupa dandangnya.
Kedua, tinggalkan
dan buat tulisan baru yang lain sama sekali. Ini jelas menuntut kerelaan dan
keikhlasan yang luar biasa. Kebayang, dong, capeknya japri-an demi bahas
naskah. *kebayang, moy, kebayang*
Ketiga, mencari
rekan baru. Ini jelas lebih rempong lagi. Selain minta izin ke rekan terdahulu
soal gagasan dalam naskah, kita juga harus menyesuaikan diri dengan rekan yang
baru.
Menulis novel
memang membutuhkan napas yang amat panjang. Bagi yang sudah biasa, tentu nggak
ada masalah, meskipun kerepotan yang terjadi ketika menggarap novel nggak ada
yang masuk kategori selaaaww. Namun, bagi yang tidak biasa (tapi ngotot pengen
punya karya novel) berduet merupakan salah satu alternatif mewujudkannya.
Alasan lainnya,
mungkin saja mereka hendak menyatukan dua (atau lebih) poin ke dalam satu
novel. Misalnya novel soal romansa yang terjadi di negeri kanguru. Penulis
pertama ternyata pernah tinggal cukup lama di Melbourne (misalnya), jadi ia punya
amunisi cukup kuat untuk set lokasi dan suasana. Sementara penulis kedua
ternyata jago bikin narasi dan dialog dengan level kebaperan yang ruar binasa
sehingga sanggup bikin jomblo-jomblo yang baca mendadak cari pohon toge buat
gantung diri. *lebay, moy, lebaaayyy* Bisa dibayangkan, kan, gimana kece
badainya karya tersebut?
Dapat disimpulkan
juga bahwa karya kolaborasi memungkinkan untuk penggabungan lebih banyak unsur
kece, meskipun tidak menampik bahwa penulis tunggal pun bisa menggarap hal yang
sama. Jadi, mau nulis sendiri atau keroyokan, itu terserah kalian.
Salam lemper, eh,
cilok.
menyimak & nunggu kiriman lemper
ReplyDeletehahahaha baiklah, nanti saya kirim lempernya via surel :D
Deletemakasih udah mampir, mas ryan.