Kenal Robert
Langdon? Kalo kenal, pasti kalian kenal dengan si pencipta karakter tersebut.
Yakin seyakin-yakinnya, Dan Brown nggak asal jeplak ketika nyiptain karakter
seorang profesor yang ahli bener soal simbol-simbol. Apalagi, ketika dikaitkan
dengan setting lokasi yang merupakan kota suci Vatikan. Ada pengorbanan waktu,
tenaga, dan biaya yang tak sedikit untuk mempelajari itu semua — mengingat
jarak Amerika dan Eropa yang nggak mungkin ditempuh dengan sekali engklek.
Tapi, hasilnya sepadan. Baik film maupun bukunya, laris manis kek cilok bumbu
kacang. *lalu disambit Pakde Robert* Pembaca malah bisa dapat wawasan baru soal
simbol-simbol, prosesi pemilihan Paus, atau soal karya-karya Da Vinci. Ya,
meskipun kita tidak disarankan menelan mentah-mentah semuanya.
Lalu, kenal Ikal
atau Lintang? Kalo kenal, pasti kalian juga kenal Andrea Hirata. Jika kalian
berpendapat Andrea Hirata amat lihai menuliskan setting Pulau Belitung, itu
karena ia memang putra Belitung. Ia memasukkan pengalaman hidupnya ke dalam tulisannya
agar karya tersebut berkesan nyata. Serupa dengan karya-karya Dan Brown tadi,
pembaca juga bisa mendapat bayangan seperti apa kehidupan di pulau tersebut,
bagaimana bentang alamnya, suasananya, dll, dsb, dkk.
Kenapa jadi mendadak ngomongin setting
lokasi sih, Moy?
Ya, karena itu
penting. Apa jadinya naskah kalian kalo setting lokasi aja ngasal? Baru masuk
meja redaksi aja udah pasti dapet omelan dari tukang reviewnya. Itu baru
setting lokasi loh ya, belum perintilan lainnya. Misal kayak jadwal race-nya Om
Rossi, yang kudunya hari Minggu, malah kalian tulis hari Rabu. Atau jadwal
kereta yang kudunya pukul sembilan malam, malah ditulis pukul tujuh pagi. Kalo
kalian lagi bikin fiksi fantasi mah bebaaaasssss mo bikin pukul berapa aja tuh
kereta meluncur, tapi kalo bukan fiksi fantasi ya jangan atuh.
Misal lagi nih,
warna pelangi yang kudunya ada tujuh, malah kalian tulis sepuluh. Itu yang tiga
nyomot dari mana? Atau pentol cilok yang kudunya pake tepung kanji, malah
kalian tulis pake tepung beras. Nggak jadi cilok, malah jadi bubur sumsum.
*mendadak baper, eh, laper*
Sedikit berbagi
pengalaman waktu saya nulis Constellation of Love. Si tokoh utama adalah
seorang gadis yang gemar dengan ilmu astronomi. Saya? Boro-boro gemar
astronomi, daftar zodiak aja nggak apal. Eh, itu mah astrologi yak. Maap, maap.
Singkatnya, saya
belajar lagi. Saya mencari tahu apa yang saya butuhkan. Saya membuka banyak
sekali laman astronomi, baik yang resmi maupun dari blog-blog pencinta
astronomi. Saya bahkan sampai mencari tahu teleskop jenis apa yang banyak
beredar di pasaran. Tapi, tidak semua informasi bisa saya masukkan ke dalam
naskah. Saya menyaringnya lagi, mengecek ulang, dan setelah yakin, baru saya
berani memasukkannya ke dalam naskah.
Begitu pula
ketika saya mengedit sebuah naskah. Bolak balik ngecek kamus, buka browser buat
cek data, buka KBBI lagi, lalu Google Translate, lalu KBBI lagi, dan berakhir
dengan ngintip temlen pesbuk. *kembali disambit Pakde Robert* Semua demi sebuah
kesesuaian. Kalian pikir saya akan telan begitu saja ketika dalam naskah nemu
nama tempat yang sebelumnya tidak pernah saya tahu atau dengar? Tidak. Saya pasti
mengeceknya. Minimal menyamakan penulisan serta membaca sedikit ulasan mengenai
tempat tersebut. Karena kalo sampe kesalahan itu muncul setelah buku terbit,
sayalah yang akan diminta foto bareng, eh, dicaci maki oleh pembaca. *malah
tsurhat*
Jadi, inti dari
tsurhatan random ini adalah, sayangi naskah kalian. Perlakukan karya kalian
dengan baik. Caranya? Dengan tidak melakukan hal konyol bernama ‘malas riset’.
Riset paling mudah memang lewat internet. Tapi, ingat, bijaklah menyaring semua
informasi yang kalian baca.
Salam lemper, eh,
cilok.
0 comments:
Post a Comment