“Kamu bisa jatuh cinta tanpa
jatuh hati, Ru?”
Ru memandang perempuan di
sebelahnya, menatapnya lekat-lekat seolah-olah perempuan itu makhluk asing yang
baru turun dari unidentified flying
object. Seolah-olah perempuan itu baru saja menenggak bergalon-galon bir
tanpa es batu. Seolah-olah ada makhluk astral yang menumpang sejenak di otak
perempuan itu, mencuci otaknya, lalu pergi tanpa permisi.
Tapi, yang Ru lihat hanya sorot
kesungguhan dari perempuan itu. Dan, itu aneh, pikir Ru.
“Jatuh cinta itu sakit, Ru.”
Ru tidak menanggapi. Tepatnya,
bingung harus bereaksi seperti apa. Belum sampai lima menit lalu, mereka
membahas hal lain, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan diri mereka.
Jenis obrolan siang hari, berteman sekantung besar keripik kentang rasa pedas –
kesukaan Ru – dan dua gelas besar susu kocok rasa cokelat – kesukaan Moy, yang
terpaksa pula Ru nikmati karena Moy memaksanya. Benar-benar tipikal pertemuan
dua orang tanpa embel-embel ikatan apa pun.
Moy memainkan gelas minumannya,
memutar-mutarnya perlahan. Sesekali ia angkat gelas plastik itu sejajar
matanya, hanya untuk mengamati tetes-tetes embun yang menempel di sana. Ia
tahu, Ru tidak mungkin menanggapi ucapannya, tapi ia menunggu, dengan
persediaan kesabaran tak terbatas. Susu kocoknya sudah hambar, sudah tak layak
disebut minuman manis.
“Kenapa kita di sini, Ru?”
Ru menghela napas panjang. Satu
kali, tapi cukup panjang untuk diterjemahkan menjadi novel seribu halaman. Moy
tahu itu. Moy paham itu.
Ru meraih jemari Moy yang bebas.
Ia tak punya kata-kata, ia tak punya janji-janji. Yang Ru punya hanya
perhatian, dari jarak jutaan tahun cahaya. Moy tahu itu. Moy paham itu.
“Kenapa harus jatuh cinta tanpa
jatuh hati, Moy?”
Suara Ru terdengar bermil-mil
jauhnya dari gendang telinga Moy, bahkan nyaris tak tertangkap getarannya.
“Agar hati tak tercabik-cabik
ketika cinta habis, Ru.”
“Ah, Moy…”
Sehelai daun gugur dan mendarat
lembut tak jauh dari kaki Moy. Warnanya kuning kecokelatan, warna rapuh yang
melegenda. Mungkin begitulah warna hatiku, pikir Moy.
Genggaman tangan Ru menguat,
membuat Moy beralih dari daun gugur ke wajah lelaki di sampingnya. Moy merasa
dirinya berdiri di tepian kolam luas, bersiap menyelam ke dalamnya. Begitu
banyak persiapan supaya ia sukses menyelam tanpa takut terbawa arus. Tapi,
ketika ia hendak terjun, sesuatu menahannya.
“Jangan,” titah suara lembut
itu, yang tak lain adalah suara Ru. “Kamu tidak akan pernah tahu seberapa
dalamnya. Siapa yang akan menolong kalau kamu tenggelam?”
“Aku tidak akan tenggelam, Ru.
Tidak untuk yang kedua kalinya.”
“Kamu yakin?”
“Iya.”
Sorot mata Ru meragukan jawaban
Moy.
“Jangan khawatir, Ru. Sebab,
kolam yang akan kuselami tidak sama dengan sebelumnya. Kali ini aku tahu
seberapa dalamnya, aku tahu seberapa deras arusnya. Kamu tidak perlu khawatir.”
Ru menghempaskan punggungnya ke
sandaran bangku taman. Ini yang ia takutkan, bahwa Moy akan mengulang kesalahan
yang sama. Dan, pada akhirnya, Ru harus datang menolongnya. Kali ini tidak akan
berhasil, pikir Ru.
Senja muncul tanpa permisi,
membawa kemilau jingga ke dinding retina. Angin mengembuskan hawa yang lebih
dingin dibanding satu jam yang lalu, ketika Moy dan Ru baru saja datang.
Lampu-lampu di sekitar mereka mulai menyala, memberi cahaya lembut pada perdu
dan pohon jepun di sekitar mereka. Dan, alunan seruling mulai terdengar dari
radio entah-milik-siapa. Malam memang segera datang, tapi Ru belum bisa membawa
Moy pergi dari tempat itu. Ru tahu, setelah ini, akan ada hal lain yang ingin
Moy bicarakan.
“Jangan menatapku seperti itu,
Ru.”
Ru melebarkan matanya, yang
sesungguhnya tidak signifikan terlihat perbedaannya.
“Aku sudah melantur, ya?” Moy
menunduk, kembali menekuri gelas plastik di tangannya. “Ayo pulang, Ru. Aku
lelah.”
Akhirnya, pikir Ru. Obrolan tadi
benar-benar membingungkan. Seperti melompat-lompat di jalanan berlumpur, demi
menghindari genangannya.
Ini sudah bulan ketiga puluh
tujuh, keadaan Moy belum berubah sejak pertama Ru menemukannya.
Ya, Ru menemukan Moy di sebuah
acara pernikahan. Acara yang seharusnya sakral itu kocar-kacir gara-gara
seseorang membuka sejarah Moy di depan para undangan.
Ya, itu pernikahan Moy yang
kocar-kacir. Mempelai pria tidak mau mengucap sumpah pernikahan karena Moy
ternyata belum sembuh.
Sebenarnya, Moy bukannya belum
sembuh, tapi ia sengaja melewatkan banyak sekali sesi, hanya untuk duduk di
sebuah bangku taman. Moy lebih suka duduk di bangku kayu keras dengan pelitur
tidak rata daripada sofa lembut nan empuk yang berada di ruangan beraroma
lavender. Moy tidak suka lavender, Moy lebih suka aroma teh hijau. Sofa dan
lavender tidak akan membuatnya sembuh. Bangku tamanlah yang membuatnya sembuh.
Juga, Moy tidak suka orang asing bertanya terlalu banyak soal dirinya.
Ru bukan orang asing bagi Moy,
meskipun mereka baru bertemu kala itu. Bagi Moy, sorot mata Ru seolah-olah
sudah pernah – dan selalu – hadir sepanjang dua puluh tujuh tahun perjalanan
hidupnya. Ketika bahkan keluarga Moy sendiri mengabaikannya dan lebih sibuk
mengurus katering yang terlantar, Ru meraih tangannya dan membawanya
berjalan-jalan. Moy tidak paham apa yang Ru lakukan, tapi ia menurut saja —
sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan terhadap orang asing.
“Kita duduk di sini saja,” ucap
Ru kala itu, di sebuah bangku taman, membuka obrolannya dengan Moy.
Moy bergeming. Benaknya masih
berkutat soal pernikahannya yang batal. Dinding retinanya masih terisi raut
wajah yang dulu katanya sangat mencintainya, tapi berbalik seratus depalan
puluh derajat ketika tahu bagaimana masa lalunya. Moy sendiri bukannya tidak
pernah membicarakan hal itu dengan kekasihnya, tapi memang ia tidak pernah
cerita mendetail, apalagi mengenai kegiatan membolosnya. Harusnya itu bukan
masalah. Toh Moy merasa yang terpenting adalah hasil akhirnya, bukan prosesnya.
Ya, Moy memang sudah sembuh. Ia
tidak pernah lagi mengurung diri berhari-hari di kamarnya sambil menangis.
Kebanyakan orang-orang berpikiran ia terkena pengaruh ilmu hitam. Padahal,
tidak ada yang tahu kalau Moy pernah nyaris mati di tangan salah satu teman
SMA-nya yang, yah, kebetulan saja jadi kekasihnya kala itu. Bahkan, orang tua
Moy sendiri tidak tahu hal itu. Yang mereka tahu; anaknya bermasalah dan harus
segera mendapat pertolongan. Moy berakhir di sofa empuk dalam ruangan beraroma
lavender.
“Kamu siapa?” tanya Moy,
membalas ajakan Ru untuk duduk.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Ru.
“Hanya seseorang yang kerap mengamatimu duduk di bangku ini… sejak tujuh tahun
lalu.”
Tubuh Moy limbung. Ru dengan
sigap meraih lengan Moy dan membimbingnya untuk duduk.
“Sudah kubilang, kita duduk di sini saja,” kata Ru.
Sejak saat itu, Ru tidak pernah
meninggalkan Moy, bahkan ketika Ru teramat jengkel karena tidak paham apa yang
Moy bicarakan.
0 comments:
Post a Comment