Wanita, Emansipasi, dan Kartini




Emansipasi wanita. Itu dua penggal kata yang sering aku dengar selama bulan April. Sayangnya, aku tidak cukup pintar untuk tahu apa arti dari dua kata itu sesungguhnya. Butuh waktu lama hingga aku sedikit mengerti hal itu. Ya… maklum saja, aku bukan termasuk manusia beruntung yang bisa mencicipi pendidikan di bangku sekolah. Jadi, aku hanya bisa menambah pengetahuan dari sekitarku saja. Dan… oya, dari televisi juga.

Mereka yang selalu muncul di layar kaca itu bilang, bahwa emansipasi adalah bentuk penyetaraan antara pria dan wanita. Jujur saja, aku tidak pernah mengerti apa artinya. Hingga setelah sekian lama, aku baru mendapati maksud dari dua kata itu. Mereka ingin pria dan wanita disejajarkan posisinya. Baiklah, aku sedikit menangkap maksudnya. Tapi itu membuatku berpikir lagi, disejajarkan dalam hal apa. Hmm…, ternyata aku tetap tidak mengerti maksudnya.

Lalu di lain hari aku melihat tayangan yang berbeda soal emansipasi wanita. Mereka bilang inilah waktunya para wanita di Indonesia bebas memilih sebuah pekerjaan. Apapun bentuk pekerjaan itu, sekarang sudah tidak boleh lagi ada yang melarang, sekalipun itu akan menjadikan mereka srikandi dalam sarang manusia berhormon testosterone. Ehm…, aku hanya bisa tertawa miris ketika melihat dan mendengar tayangan itu. Aku tertawa dalam hati ketika harus mendengar kata ‘memilih’ alih-alih ‘terpaksa’. Mengapa? Mari menyimak sedikit tentang diriku.

Aku seorang wanita. Aku sudah berkeluarga. Dan aku adalah seorang kuli bangunan. Kaget?! Jangan lah…. Itu bukan hal yang bisa membuatmu terkena serangan jantung. Bagi siapapun yang pernah menetap sejenak di Pulau Dewata, pasti tahu bahwa itu adalah hal biasa. Lalu apa hubungannya dengan yang tadi kukatakan di atas?

Begini…. Kalau aku tidak salah ingat, bukankah pekerjaan sebagai kuli bangunan adalah pekerjaan para pria?! Dan mengapa aku yang seorang wanita bisa bekerja menjadi kuli bangunan? Ya itu tadi, karena sebuah keterpaksaan. Hanya itu pekerjaan yang bisa aku dapatkan dengan kepintaran otak yang terbatas. Jika bisa, aku tidak ingin bekerja diluar rumah, apalagi sebagai kuli bangunan. Aku memilih untuk tetap di rumah dan mendidik anakku. Ah, tiba-tiba aku jadi ingat iklan minuman penambah tenaga yang memiliki jargon bahwa pekerja lapangan adalah lelaki. Ingin kutampar saja si pembuat iklan itu, agar mereka tahu iklan seperti itu telah menyakiti hati kami para wanita yang bekerja sebagai kuli bangunan.

Dan siapa pula itu Kartini? Mereka yang di televisi selalu menyebutkan emansipasi wanita diprakarsai oleh Kartini. Setahuku, Kartini adalah nama seorang yang dipakai sebagai nama sebuah ruas jalan di kota Denpasar ini. Baru seminggu yang lalu aku mengetahui siapa Kartini sebenarnya, ketika anak perempuanku yang masih kelas 2 SD mengoceh soal pelajaran di sekolahnya, dan dia menyebutkan nama itu. Wanita itu – yang bernama Kartini – telah berjasa besar dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum hawa. Berkat wanita itu, kini kaum hawa berhak mengeyam pendidikan setinggi-tingginya dan bebas memilih pekerjaan untuk dirinya sendiri.

Sekali lagi aku harus tertawa miris di dalam hati. Pendidikan di Indonesia tidak membiarkan orang sepertiku – yang berharta remah-remah emas – menikmati manisnya ilmu di bangku sekolah. Aku bersyukur anak perempuanku satu-satunya masih bisa bersekolah. Dan memang karena itulah aku rela menjadi kuli bangunan. Aku tidak ingin anakku mengikuti jejak keterpaksaanku.

Aku kembali berpikir di antara waktu-waktu singkatku, tentang hubungan antara wanita, emansipasi, dan Kartini. Ah…, untuk apa aku memikirkan hal seperti itu? Hanya sia-sia dan percuma. Lebih baik aku tidur agar aku punya tenaga untuk berkerja esok hari. Selamat Hari Kartini bagi yang merayakannya. Karena jujur saja, aku tidak merayakannya.

0 comments:

Post a Comment