Inilah aku, duduk di sampingmu di sebuah kursi taman yang dingin. Dan kebekuan ini belum juga mencair di antara kita. Kau diam karena aku diam dan hanya air mata yang keluar dari kedua mataku.
“Sejak kapan kau berhubungan dengan Marion?” tanyaku padamu.
“Aku tidak ingat kapan tepatnya, Julie. Yang jelas sudah lama sekali.”
Oh, tidak! Kau bilang sudah lama sekali?! Sejak kapan itu tepatnya? Apakah setelah kau mengenalku? Atau sebelumnya? Karena aku sendiri sudah sejak SMA kenal dengan Marion. Kau tahu dia sahabatku sejak SMA. Kalau memang benar, berarti sudah hampir sepuluh tahun kau mengkhianatiku. Oh, Tuhan, apa yang sedang ku alami saat ini?
“Apakah Jeff juga tahu hal ini?” tanyaku lagi.
“Tidak,” jawabmu singkat sekali. Kau memang benar–benar gila, Billy.
Dua jam yang lalu, aku tidak pernah menyangka akan terjadi pembicaraan seperti ini denganmu, Billy. Aku sedang menuju rumah Marion di New Jersey. Aku sengaja tidak memberi kabar kalau aku akan berkunjung ke rumahnya.
Aku sendiri sedang tidak ada kegiatan hari ini. Hari ini adalah hari minggu dan kau bilang sedang ada pekerjaan di Washington untuk satu minggu ke depan. Jadi, aku pun berencana untuk menginap di rumah Marion malam ini. Esok, aku bisa berangkat ke kantor dari New Jersey. Toh, jaraknya hanya satu jam ke New York.
Aku sampai di rumah Marion pukul sepuluh pagi. Tapi, ada yang aneh. Mengapa mobilmu ada di rumah Marion? Bukankah seharusnya kau berangkat ke Washington dengan seorang rekan kerjamu? Jangan sampai ini berakhir seperti yang kubayangkan ketika aku menginjakkan langkahku di teras rumah Marion.
Dan ternyata, itu sudah terjadi. Aku melihat sendiri, kau dan Marion di sofa ruang tamu. Sungguh, aku ingin muntah saat itu.
“Tidakkah kau memikirkan perasaanku, Billy? Saat kau bersama Marion, tidakkah kau ingat padaku?”
“Maafkan aku, Julie. Aku memang bersalah.”
“Ini butuh lebih dari sekedar permintaan maaf, Billy. Dan aku tidak tahu apa aku sanggup melihatmu lagi di kemudian hari.”
“Aku akan lakukan apapun, Julie. Apapun yang kau minta.”
“Sekarang aku baru sadar, mengapa dari dulu kita selalu berempat. Aku, kau, Marion, dan Jeff. Hampir tiap minggu kita berempat selalu bertemu untuk sekedar makan malam. Ternyata itu alasannya, agar kau bisa lebih sering melihat dan bertemu Marion. Oh, betapa bodohnya aku yang tidak bisa menyadari hal ini sebelumnya. Jadi kepergianmu ke Washington hanya kau jadikan alasan agar kau bisa bertemu lagi dengan Marion?! You are so mean, Billy.”
Aku diam dan hanya memandang daun – daun yang berguguran di taman ini. Musim gugur kali ini kurasakan lebih dingin dibanding tahun lalu. Padahal, mulai enam tahun yang lalu, aku sangat menyukai musim gugur. Di saat banyak orang yang membenci musim gugur karena dingin dan kering, aku malah senang memandang warna coklat dan kuning dari dedaunan yang gugur. Karena, pada musim gugur enam tahun yang lalu, kau melamarku. Hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan selain hari pernikahan kita. Oh, Billy. Tidakah kau juga mengingat hal itu? Atau jangan–jangan kau sudah lupa. Pria biasanya jarang bisa mengingat tanggal - tanggal penting dalam kehidupan rumah tangganya.
“Seharusnya tak perlu kukenalkan kau dengan Marion kalau akhirnya kau malah meyakitiku.”
“Julie…. Ini terjadi begitu saja. Awalnya aku hanya main – main dengan Marion. Tapi entah mengapa, segalanya berlanjut hingga hari ini.”
“Aku hanya heran, mengapa Marion tidak pernah bilang padaku. Kalian berdua memang sama saja. Kau dan Marion. Kalian tidak memikirkan apa akibatnya pada hubungan kau dan aku.”
Aku dan kau kembali terdiam, tak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Taman ini semakin sepi karena hari sudah beranjak siang. Seolah – olah hanya ada kau dan aku yang ada di taman ini.
“Jadi…, apa yang kau inginkan dariku saat ini, Billy?”
“Aku…, aku tidak tahu, Julie. Mungkin sebaiknya kita berpisah saja.”
“So that’s it?! Kau minta kita berpisah?! Bukankah seharusnya aku yang berkata seperti itu?! Di sini aku yang menjadi korban, Billy. Apa kau masih belum paham juga? Aku tidak peduli dengan Marion dan Jeff. Aku hanya peduli tentang kita berdua. Dan sekarang kau dengan mudahnya mengusulkan perpisahan. What a perfect thought!”
Kau kembali terdiam. Tapi aku lihat di wajahmu tampak tak ada raut penyesalan sama sekali.
“Baiklah. Kalau itu memang kemauanmu, kita akan mulai proses perceraian secepatnya. Pengacaraku akan menghubungimu nanti,” kataku lagi.
Air mataku tak sanggup lagi kutahan. Segalanya menjadi begitu menyakitkan saat ini. Bahkan air mata yang keluar terasa sangat perih di kulit wajahku.
“Sekarang aku tahu, Billy. Kau memang tidak pernah benar – benar mencintai diriku. Aku hanya kau jadikan sebagai batu loncatan saja untuk mendapatkan Marion. Well, silahkan saja kau lakukan itu. Urusan kau dengan aku, sudah selesai. Silahkan sekarang kau hadapi Jeff. Good luck for you, Billy. I see you next time in court.”
“Sejak kapan kau berhubungan dengan Marion?” tanyaku padamu.
“Aku tidak ingat kapan tepatnya, Julie. Yang jelas sudah lama sekali.”
Oh, tidak! Kau bilang sudah lama sekali?! Sejak kapan itu tepatnya? Apakah setelah kau mengenalku? Atau sebelumnya? Karena aku sendiri sudah sejak SMA kenal dengan Marion. Kau tahu dia sahabatku sejak SMA. Kalau memang benar, berarti sudah hampir sepuluh tahun kau mengkhianatiku. Oh, Tuhan, apa yang sedang ku alami saat ini?
“Apakah Jeff juga tahu hal ini?” tanyaku lagi.
“Tidak,” jawabmu singkat sekali. Kau memang benar–benar gila, Billy.
Dua jam yang lalu, aku tidak pernah menyangka akan terjadi pembicaraan seperti ini denganmu, Billy. Aku sedang menuju rumah Marion di New Jersey. Aku sengaja tidak memberi kabar kalau aku akan berkunjung ke rumahnya.
Aku sendiri sedang tidak ada kegiatan hari ini. Hari ini adalah hari minggu dan kau bilang sedang ada pekerjaan di Washington untuk satu minggu ke depan. Jadi, aku pun berencana untuk menginap di rumah Marion malam ini. Esok, aku bisa berangkat ke kantor dari New Jersey. Toh, jaraknya hanya satu jam ke New York.
Aku sampai di rumah Marion pukul sepuluh pagi. Tapi, ada yang aneh. Mengapa mobilmu ada di rumah Marion? Bukankah seharusnya kau berangkat ke Washington dengan seorang rekan kerjamu? Jangan sampai ini berakhir seperti yang kubayangkan ketika aku menginjakkan langkahku di teras rumah Marion.
Dan ternyata, itu sudah terjadi. Aku melihat sendiri, kau dan Marion di sofa ruang tamu. Sungguh, aku ingin muntah saat itu.
“Tidakkah kau memikirkan perasaanku, Billy? Saat kau bersama Marion, tidakkah kau ingat padaku?”
“Maafkan aku, Julie. Aku memang bersalah.”
“Ini butuh lebih dari sekedar permintaan maaf, Billy. Dan aku tidak tahu apa aku sanggup melihatmu lagi di kemudian hari.”
“Aku akan lakukan apapun, Julie. Apapun yang kau minta.”
“Sekarang aku baru sadar, mengapa dari dulu kita selalu berempat. Aku, kau, Marion, dan Jeff. Hampir tiap minggu kita berempat selalu bertemu untuk sekedar makan malam. Ternyata itu alasannya, agar kau bisa lebih sering melihat dan bertemu Marion. Oh, betapa bodohnya aku yang tidak bisa menyadari hal ini sebelumnya. Jadi kepergianmu ke Washington hanya kau jadikan alasan agar kau bisa bertemu lagi dengan Marion?! You are so mean, Billy.”
Aku diam dan hanya memandang daun – daun yang berguguran di taman ini. Musim gugur kali ini kurasakan lebih dingin dibanding tahun lalu. Padahal, mulai enam tahun yang lalu, aku sangat menyukai musim gugur. Di saat banyak orang yang membenci musim gugur karena dingin dan kering, aku malah senang memandang warna coklat dan kuning dari dedaunan yang gugur. Karena, pada musim gugur enam tahun yang lalu, kau melamarku. Hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan selain hari pernikahan kita. Oh, Billy. Tidakah kau juga mengingat hal itu? Atau jangan–jangan kau sudah lupa. Pria biasanya jarang bisa mengingat tanggal - tanggal penting dalam kehidupan rumah tangganya.
“Seharusnya tak perlu kukenalkan kau dengan Marion kalau akhirnya kau malah meyakitiku.”
“Julie…. Ini terjadi begitu saja. Awalnya aku hanya main – main dengan Marion. Tapi entah mengapa, segalanya berlanjut hingga hari ini.”
“Aku hanya heran, mengapa Marion tidak pernah bilang padaku. Kalian berdua memang sama saja. Kau dan Marion. Kalian tidak memikirkan apa akibatnya pada hubungan kau dan aku.”
Aku dan kau kembali terdiam, tak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Taman ini semakin sepi karena hari sudah beranjak siang. Seolah – olah hanya ada kau dan aku yang ada di taman ini.
“Jadi…, apa yang kau inginkan dariku saat ini, Billy?”
“Aku…, aku tidak tahu, Julie. Mungkin sebaiknya kita berpisah saja.”
“So that’s it?! Kau minta kita berpisah?! Bukankah seharusnya aku yang berkata seperti itu?! Di sini aku yang menjadi korban, Billy. Apa kau masih belum paham juga? Aku tidak peduli dengan Marion dan Jeff. Aku hanya peduli tentang kita berdua. Dan sekarang kau dengan mudahnya mengusulkan perpisahan. What a perfect thought!”
Kau kembali terdiam. Tapi aku lihat di wajahmu tampak tak ada raut penyesalan sama sekali.
“Baiklah. Kalau itu memang kemauanmu, kita akan mulai proses perceraian secepatnya. Pengacaraku akan menghubungimu nanti,” kataku lagi.
Air mataku tak sanggup lagi kutahan. Segalanya menjadi begitu menyakitkan saat ini. Bahkan air mata yang keluar terasa sangat perih di kulit wajahku.
“Sekarang aku tahu, Billy. Kau memang tidak pernah benar – benar mencintai diriku. Aku hanya kau jadikan sebagai batu loncatan saja untuk mendapatkan Marion. Well, silahkan saja kau lakukan itu. Urusan kau dengan aku, sudah selesai. Silahkan sekarang kau hadapi Jeff. Good luck for you, Billy. I see you next time in court.”
artikel dapat dilihat di sini
0 comments:
Post a Comment