Silvermoon Sparkling - Chapter Eight





Kisah sebelumnya di Chapter Seven.

Sudah satu minggu Rama ada di Jakarta. Dan sudah satu minggu pula Nana masih menyimpan hal itu. Nana masih takut untuk menanyakan langsung kepada Rama. Tapi dia harus menanyakan secepatnya.


Sebab, Nana baru mendapat kabar dari Pak Darwis, pamannya, bahwa kepindahan itu ditunda sampai bulan Februari tahun depan. Dan itu berarti Rama akan tetap berada di Jakarta sampai bulan Februari pula. Nana tidak sanggup menahan rasa penasaran itu lebih lama lagi. Nana harus bertanya kepada Rama.


“Ram, kita harus bicara.”


“Ada apa?” tanya Rama sambil menutup buku yang sedang dibacanya.


“Minggu lalu aku berjanji pada diri sendiri, gak akan menanyakan hal itu lagi padamu. Tapi nampaknya aku harus melanggar janjiku sendiri. Dan minggu lalu juga, kamu bersumpah akan meninggalkan Jakarta jika aku menanyakan hal itu. Yang jelas aku harus bertanya hal itu lagi.”


“Langsung aja, Na. Anggaplah aku gak pernah bilang apa-apa minggu lalu.”


“Sebenarnya apa tujuanmu kemari?”


“Untuk menjemputmu. Aku akan tetap di sini sampai kamu dapat kepastian tentang kabar kepindahanmu.”


“Sebaiknya kamu katakan sejujurnya. Aku udah tahu, sesuatu telah terjadi di rumah. Tapi aku hanya ingin mendengarnya langsung dari kamu.”


“Gak ada apa-apa, Na. Kenapa kamu ngotot gitu? Emangnya kamu dapat cerita apa dari rumah?”


“Rama!! Aku tahu kamu kabur dari rumah. Dan yang belum aku tahu, kenapa kamu kabur? Ada apa antara kamu sama ajik? Atau mungkin, ada apa dengan dirimu sendiri?”


Rama terdiam. Ia menghela napas panjang. Raut wajahnya kini jelas-jelas menggambarkan bahwa dirinya memang sedang memiliki masalah yang tidak ringan.


“Duduk dulu, Na. Akan aku jelaskan semuanya.”


Nana menuruti tawaran Rama. Ia duduk di samping Rama, tapi tetap menjaga jarak.


“Aku udah dijodohkan, Na.”


Nana menatap Rama dengan tajam, seolah tidak percaya dengan perkataan Rama. “Jadi cuma karena itu kamu kabur?!”


“Nana!! Dengarkan sekali lagi. Perhatikan bicaraku. Aku dijodohkan dengan gadis yang belum aku kenal. Gadis yang belum aku tahu sifat dan karakternya. Gadis yang belum tentu dia pun bersedia dijodohkan denganku. Tentu saja aku menolak. Sekarang coba bayangkan seandainya hal itu terjadi padamu.”


Nana diam saja. Ternyata alasan itu yang membuat Rama pergi dari rumah. Ternyata perjodohan tidak semenarik kelihatannya. Pasti ada saja pihak yang tidak setuju. Nana pun tidak menginginkan hal itu terjadi pada dirinya. Nana hanya ingin menikah dengan pilihannya sendiri.


“Sebenarnya dari dulu pun, rencana pernikahanku telah diatur.”


“Tapi kenapa ajik membiarkan kamu pacaran sama Dayu?”


“Itu juga yang aku gak ngerti. Mungkin, karena perjodohanku sudah pasti, jadi mereka gak peduli aku pacaran sama Dayu. Toh, menurut mereka, aku gak akan nikah sama Dayu. Tapi yang yang jadi pacarku itu Dayu. Bukan gadis yang entah siapa namanya itu.”


“Kalau memang benar itu sudah diatur dari dulu, kenapa kamu baru diberi tahu minggu lalu?”


“Sepertinya ajik gak mau aku mencari gadis lain yang mirip denganmu,” jawab Rama.


“Mirip denganku? Maksudmu apa? Aku gak ngerti arah bicaramu.”


“Apa kamu gak sadar, Na, kalau kamu dan Dayu punya banyak kesamaan? Kalian sama-sama seorang gadis yang mandiri dan tegas. Kalian sama-sama pintar, gampang bergaul, dan bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan orang-orang baru. Dan ada kalanya kalian berdua sama-sama bersikap manja terhadap pasangan. Manja yang tidak berlebihan, dan aku suka itu.”


“Kamu gila ya, Ram.” Nana setengah berteriak sambil bangkit dari duduknya. “Apa maksudmu menyamakan aku dengan Dayu? Udah jelas aku dan Dayu adalah dua orang yang berbeda. Dari mana kamu dapat ide seperti itu? Gak masuk akal, Ram.”


“Percayalah, Na. Kalian berdua punya banyak kesamaan.”


“Tunggu dulu. Jadi Dayu hanya pelarian bagimu? Bener-bener sakit kamu ya, Ram. Pantas aja ajik menjodohkan kamu dari kecil. Ternyata ajik udah merasa kamu punya perasaan yang salah terhadapku.”


“Memangnya kamu gak merasa seperti itu, Na?” tanya Rama dengan tenang.


“Enggak.”


“Jangan bohong, Na. Aku tahu kamu. Dan aku kenal kamu.”


“Enggak, Ram. Kamu gak kenal aku. Yang kamu kenal adalah seorang Kalina Mahayuni kecil yang belum mengerti apa-apa. Kamu gak tahu apa-apa tentang diriku yang sekarang.”


“Na. Yang aku tahu sekarang, kamu masih suka melihat bulan purnama. Dan aku tahu, kamu tidak bisa melakukan itu sendirian. Kamu pernah mencobanya dan kamu gagal. Aku tahu apa maksud di balik pernyataanmu itu. Kamu gak bisa mencari pengganti diriku. Harus aku yang menemanimu melihat bulan purnama. Begitu juga aku. Aku gak bisa kalau partnerku bukan kamu. Karena kamu jauh, jadi aku terpaksa mencari seseorang yang persis sepertimu. Tuhan menjawab doa-doaku. Aku menemukan Dayu. Tapi ternyata dia gak se-antusias kamu ketika menikmati sinar bulan. Dia bilang, hal itu cuma buang-buang waktu. Aku paksakan dia menemaniku, tapi percuma. Sejak saat itu aku tahu, gak ada yang bisa menggantikan kamu. Dan, memang benar, ajik udah tahu hal itu dari dulu. Hanya ajik yang tahu. Karena aku sendiri yang mengatakannya. Aku bilang, kalau aku sudah dewasa nanti, aku ingin menikahimu. Ajik gak komentar apa-apa waktu itu. Tapi rupanya ajik udah menyiapkan amunisi terakhir untuk menyadarkan aku.”


Nana bingung harus berkata apa saat ini. Seakan tidak percaya apa yang baru saja keluar dari mulut Rama adalah tentang dirinya. Antara sedih dan kecewa, Nana bingung menentukan sikap.


Lalu Nana memilih untuk pergi ke kamarnya. Ia menutup pintu dan menguncinya dari dalam, membiarkan Rama seorang diri di ruang tamu.


Nana duduk di tepi ranjang. Tak terasa, bulir-bulir air mata mengalir pelan di wajah Nana. Ia membenarkan perkataan Rama tempo hari. Andai saja dirinya dilahirkan sebagai orang lain. Maksudnya adalah antara Nana dan Rama seharusnya tidak terikat hubungan keluarga, sehingga mereka mereka bisa memiliki ikatan yang lain.


Nana beranjak dari tepi ranjang menuju jendela. Ia melihat dari balik kaca jendela. Bulan masih tergantung di langit. Sinarnya kadang tertutup awan kelabu, tapi masih nampak jelas di mata Nana. Makin lama, sinar bulan mulai menghilang, tertutup tebalnya awan mendung. Dan tidak berselang lama, hujan turun. Derasnya air hujan seolah mewakili kesedihan Nana saat ini.


Sementara itu di kamar tamu, Rama mengambil kursi dan meletakkannya di dekat jendela. Ia membuka jendela dan membiarkan percikan air hujan menerpa wajahnya. Ia mengambil sebatang rokok dan menyulutnya lalu duduk di kursi.


Rama menghisap rokoknya dalam-dalam, dan menghembuskannya ke udara di depannya. Kepulan asap itu langsung buyar terkena percikan air hujan. Rama kembali menghisap rokoknya dan membuang kepulan asapnya. Pengaruh nikotin mulai dirasakannya. Membuatnya dapat berpikir lebih jernih lagi.


‘Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu mengatakan hal itu kepada Nana. Tapi, kalau tidak dikatakan, sampai kapanpun Nana tidak akan tahu isi hatiku,’ ujar Rama dalam hati.


Batang rokok itu kini telah habis terhisap. Rama mengambil sebatang lagi dari bungkusnya. Baru saja Rama akan menyulutnya, batang rokok itu kini telah berpindah ke tangan Nana.


“Lebih baik aku langsung membunuhmu, daripada kamu mati perlahan karena benda ini,” ujar Nana.


“Aku minta maaf, Na. Seharusnya tadi aku gak bilang hal itu.”


“Gak perlu minta maaf. Gak ada yang salah di antara kita. Kita hanya dipertemukan dalam ikatan yang tidak sesuai dengan keinginan kita.”


Rama merengkuh tubuh Nana ke dalam pelukannya.


“Aku sayang kamu, Na. Aku gak peduli jika kamu gak merasakan hal yang sama. Aku tulus mencintaimu.”


“Rasa sayang kita bukan pada tempatnya, Ram.”


Rama melepaskan pelukannya. Lalu ia memandang wajah Nana nyaris tanpa berkedip. Rama membelai lembut rambut Nana yang panjang. Jemari Rama menari lembut menyentuh bibir Nana.


“Aku tahu. Dan aku tidak peduli itu.”


Rama mencium Nana. Ciuman itu hanya sekilas, namun sudah cukup bagi Nana untuk membuktikan ketulusan Rama. Hati Nana kembali berdesir. Desiran yang sama seperti yang pernah ia rasakan bertahun-tahun lalu. Dan hatinya kembali merasa hangat.


Hawa dingin yang masuk melalui jendela mulai menyadarkan Nana. Ia ingin sekali melepaskan diri dari pelukan Rama. Namun sebagian hatinya tidak ingin kehilangan kehangatan yang sudah terlanjur menjadi candu.


Mereka berdua kembali berpagutan, menyatukan kerinduan yang terpendam sekian lama. Tidak peduli rintangan apa yang akan merka hadapi jika hal ini diketahui orang lain. Bagi mereka, cinta tidak pernah salah. Yang salah hanyalah takdir yang mempertemukan mereka dalam satu lingkaran keluarga. Walaupun dengan begitu, sama saja artinya dengan menyalahkan kuasa Tuhan atas penentuan takdir. Mereka tidak peduli itu.


Hujan reda dan cahaya bulan kembali bersinar. Memang bukan bulan yang bulat sempurna, tapi tetap saja sinarnya mampu memberi kehangatan semu bagi Nana dan Rama. Pagutan demi pagutan tercipta di antara sinar bulan. Menemani dua anak manusia yang sedang rapuh jiwanya.


“Apa rencanamu selanjutnya, Ram? Kamu gak mungkin pergi dari rumah selamanya. Ajik membutuhkanmu.”


“Entah. Aku masih malas untuk berpikir. Aku ingin membiarkan mereka akhirnya kelelahan mencariku. Mereka tidak tahu aku di sini. Dan kalau sampai mereka tahu, aku akan menyalahkan dirimu. Karena, hanya kamu yang tahu aku di sini.”


“Rencana kepindahanku ditunda sampai Februari tahun depan.”


“Oya?! Baguslah. Akhirnya kita punya waktu lebih lama untuk bisa bersama.”


Nana tersenyum dan membenarkan perkataan Rama dalam hatinya.


“Aku senang melihatmu tersenyum, Na. Selalu bisa membuat aku tenang. Malam ini, kamu tidur di sini aja ya.”


“Emm, sepertinya gak bisa, Ram.”


“Kenapa? Kamu takut?”


Nana mengangguk perlahan. “Sebagian dari perasaanku masih belum percaya sepenuhnya apa yang telah terjadi pada kita berdua.”


“Tenang, Na. Aku tidak akan menyakitimu. Dan aku tidak mungkin menyakitimu. Kau terlalu indah untuk bisa disakiti.”

(bersambung)


Chapter Nine

0 comments:

Post a Comment