Kenapa Fiksi #1




“Kenapa fiksi?” tanya Pram kepada Nita, kekasihnya.

“Hmm…. Kenapa ya?!” gumam Nita.

“Aku tahu kau suka menulis. Tapi dari sekian banyak topik yang bisa kau tulis menjadi sebuah artikel, mengapa kau memilih fiksi?” tanya Pram lagi.

Baru saja Nita akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Pram, tapi Pram sudah mengajukan pertanyaan lagi.

“Dan mengapa kau pilih internet sebagai media untuk menyalurkan karyamu? Tapi tahan dulu jawabanmu. Aku akan buatkan secangkir teh hangat untukmu.”

Pram berlalu menuju dapur untuk membuat teh hangat. Beberapa saat kemudian, ia muncul lagi dengan dua cangkir teh hangat di tangannya.

“Bisa kujawab pertanyaanmu sekarang?” tanya Nita.

“Silahkan.”

“Dokterku mengatakan bahwa otak kananku lebih besar ketimbang otak kiri,” ujar Nita.

“Hah, you kidding?!”

“Hihihi…. Entahlah kalau soal ukuran. Tapi yang jelas, aku sudah menyadari sejak lama bahwa otak kananku lebih aktif. Aku lebih tertarik membaca rubrik cerpen pada majalah remaja dan koran. Dari situ aku mulai membuat cerpenku sendiri. Dan aku menemukan suatu kesenangan tersendiri ketika melakukan hal itu. Maksudku, ketika aku menulis, aku seolah berada dalam suatu dunia yang hanya ada aku di sana. Tidak ada yang berani menegur apa yang hendak aku tulis karena ini memang imajinasiku sendiri.”

“Tapi itu kan menjadikan dirimu seolah hidup dalam sebuah fantasi. Kau jadi tidak bisa merasakan apa yang terjadi pada dunia saat ini.”

“Eits, tunggu dulu. Itu bukan berarti aku tidak peduli dengan kejadian di sekitarku. Aku tetap bisa menulis soal kelaparan di Somalia melalui fiksi. Atau soal angka buta huruf yang masih tinggi di Indonesia bagian timur. See, the point is, aku bisa memasukkan tema apa saja ke dalam fiksi, tapi tidak sebaliknya.”

“Maksudnya?” tanya Pram lagi karena sedikit tidak mengerti.

“Hihihi…. Pacarku o’on juga ternyata,” celetuk Nita.

“Ayolah…. Jangan bercanda, Nit.”

“Kau jelas-jelas tidak mungkin menyelipkan hal yang fiksi di rubrik politik. Itu pasti akan menimbulkan kekacauan dan pasti akan merembet ke hal yang lain. Atau contoh lain misalnya. Kau tidak mungkin mem-fiksi-kan harga beras dalam kolom ekonomi. Dan kau pun tidak boleh memfiksikan jumlah gol dalam sebuah pertandingan sepak bola yang kemudian kau masukkan ke kolom olahraga. Tapi dalam fiksi, semua itu boleh. Ya, namanya juga fiksi. Yang penting tidak menyinggung soal SARA.”

But, writing fiction can’t feed you well.”

“Wow, jangan salah. Kau pikir apa yang sudah ditulis oleh Walt Disney dan Agatha Christie? Atau Pramoedya Ananta Toer dan Djenar Maesya Ayu? Mereka bisa makan dari menulis fiksi, Pram.”

“Oke, aku tahu itu. Tapi mengapa harus melalui internet kau publikasikan karyamu?”

“Hmm…. Ibarat sedang menaiki tangga, sekarang aku masih berada pada anak tangga yang pertama. Aku tidak mau buru-buru menaiki tangga itu. Takut di tengah jalan aku terpeleset dan akhirnya harus mendarat lagi di posisi awal. Untuk saat ini, aku hanya ingin karyaku dikenal orang secara random. Sekaligus aku ingin tahu, sebenarnya fiksi macam apa yang digemari publik sebagian besar. Dan aku pun masih ingin mengasah keterampilanku dalam menulis fiksi sebelum aku benar-benar terjun ke ranah itu dan menjadikan fiksi sebagai sumber emas permataku.”

Sinar bulan jatuh ke lantai teras tempat Nita dan Pram duduk. Walaupun belum bulat sempurna, tapi sinarnya cukup terang untuk menemani mereka berdiskusi malam ini. Dan malam ini, Pram mendapat satu lagi pelajaran dari kekasihnya. Bahwa menulis fiksi bukanlah sesuatu hal yang sia-sia belaka.

***

0 comments:

Post a Comment