Silvermoon Sparkling - Chapter Two




Kisah sebelumnya di Chapter One.

Pukul sembilan malam, Nana baru tiba di rumah kontrakannya. Dirinya beruntung bisa mendapatkan rumah kontrakan di lingkungan yang masih berkesan perkampungan di Jakarta. Walaupun daerah itu sudah terkepung pesatnya modernisasi megapolitan. Dan ada kemungkinan beberapa tahun ke depan, daerah itupun akan berubah menjadi kompleks gedung pencakar langit.

Biarlah itu menjadi urusan warga yang memiliki lahan ini, pikir Nana. Ia mungkin sudah tidak di sini ketika hal itu terjadi. Baginya, hidup dan bekerja di Jakarta adalah sebuah keterpaksaan yang harus dijalani. Nana tidak punya pilihan lain karena ini adalah permintaan pamannya, pemilik perusahaan tempat Nana bekerja saat ini.

Ingin sekali Nana kembali ke Denpasar, kota tempat ia lahir dan dibesarkan sampai ia lulus dari sekolah dasar.

Nana ingat ketika dulu dipaksa mengikuti keinginan orang tuanya untuk pindah ke Semarang. Ia sempat menghilang dari rumah selama tiga hari. Nana menginap di rumah temannya. Pada hari ketiga, ibu dari temannya itu tidak tega kepada orang tua Nana yang sudah putus asa. Akhirnya ibu dari teman Nana menelepon dan mengatakan bahwa Nana ada di rumahnya.

Petualangan berpindah kota tidak berhenti sampai di Semarang. Setelah lulus SMP di Semarang, ayah Nana dimutasi ke Jakarta. Mau tidak mau, Nana harus ikut.

Tahun kedua di Jakarta, Nana harus rela kehilangan seorang ayah yang amat disayangi. Di hari minggu, pada saat ayahnya berkendara motor menuju rumah kerabat, ada sebuah mobil pribadi menyerempet. Ayah Nana terpelanting bersama motornya dan menabrak pohon perindang yang ada di tepi jalan. Pengemudi mobil itu langsung melarikan diri. Sempat ada saksi yang melihat kejadian itu, yang kemudian mengejar mobil itu. Namun, mereka tidak mendapatkannya. Ayah Nana langsung mendapat pertolongan dari orang-orang di lokasi kejadian. Tapi nampaknya Tuhan berkehendak lain. Ayah Nana meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Setelah kepergian ayahnya, Nana dan ibunya pindah dari rumah dinas angkatan darat. Mereka ditampung di rumah paman Nana, adik dari ayah Nana. Paman Nana memiliki perusahaan kecil yang bergerak dalam bidang konstruksi.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ibu Nana tidak bisa hanya mengandalkan uang pensiun dan uang asuransi. Karenanya, ibu Nana juga bekerja pada istri dari paman Nana, yang memiliki usaha katering.

Selepas SMA, Nana ingin langsung bekerja saja. Tapi, dilarang oleh pamannya. Nana menempuh pendidikan strata satu dengan biaya penuh dari pamannya. Karena itulah, Nana tidak bisa menolak ketika setelah lulus kuliah, pamannya meminta ia untuk ikut bekerja di perusahaan. Nana merasa inilah saatnya ia membayar hutang budi kepada pamannya.

Nana menikmati segelas teh hangat di ruang tengah. Tangannya meraih remote tv yang tergeletak di sampingnya. Ia menyalakan tv dan mengganti-ganti saluran. Ia kembali mematikan tv karena menurutnya tidak ada acara yang menarik. Lalu ia menghirup teh yang sudah mulai menjadi dingin.

Sudah pukul sepuluh lebih lima menit. Malam begitu cepat berjalan, pikir Nana. Ia menghabiskan sisa teh dalam gelasnya, lalu beranjak ke dapur dan meletakkan gelasnya ke tempat cuci piring. Nana pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Sepuluh menit kemudian, ia sudah bersiap untuk tidur. Esok pagi, ia harus kembali menjalani rutinitas yang begitu melelahkan.

Sebelum tidur, Nana mengambil ponselnya dari dalam tas dan menelepon ibunya. Sebulan lalu, ibunya memutuskan untuk kembali ke Denpasar, membantu keluarga besarnya mengurus nenek Nana yang sudah renta dan sering sakit.

Ibu Nana memang orang asli Bali. Ia menjadi seorang mualaf ketika menikah dengan ayah Nana. Keluarga besarnya sangat menghargai keputusan yang diambil oleh ibu Nana. Dan mereka tidak keberatan ketika ibu Nana menyatakan ingin kembali ke sana untuk membantu mengurus nenek. Secara adat, ibu Nana sudah bukan bagian dari keluarga itu. Tapi, walau bagaimanapun juga rumitnya soal adat, keluarga tetaplah keluarga. Dan keluarga besar Nana di sana, juga sependapat tentang hal itu.

“Halo, assalammualaikum.”

“Wa’alaikumsalam,” jawab ibu Nana dari seberang telepon. “Gimana kabarmu di sana, Na?”

“Alhamdulillah, baik-baik aja, Bu. Ya, walaupun tiap hari waktunya abis di jalan. Ibu tahu sendiri gimana lalu lintas Jakarta.”

“Iya, ibu ngerti. Tapi jalani saja dulu. Kan gak enak sama pamanmu. Kita udah banyak merepotkan mereka.”

“Iya, Bu. Eh, gimana kabar niyang?”

“Niyang sekarang udah tidur. Dua hari lalu sempat anfal jantungnya. Gara-gara ada anak-anak iseng nyalain petasan di depan banjar.”

“Waduh, terus gimana, Bu? Niyang gak apa-apa?”

“Ya, untungnya cepet diambilin tabung oksigen. Terus dokternya juga bisa cepet datang ke rumah.”

“Syukurlah. Terus, anak-anak itu gimana?”

“Orang tua mereka dipanggil sama klian adat. Disuruh bayar denda dan datang ke rumah untuk minta maaf. Untungnya ajikmu lagi baik, gak emosian. Mereka dimaafin.”

“Hmm…, dasar anak-anak, bikin susah aja. Ya udah, Bu. Udah malem nih. Di sana udah jam sebelas lebih ya.”

“Iya, udah jam setengah dua belas nih.”

“Besok-besok aku telepon lagi. Salam buat niyang dan orang-orang di sana.”

“Nanti ibu sampaikan. Oya, lusa nanti, Rama datang dari Singapura.”

“Oya?! Udah selesaikah S2-nya?”

“Udah. Minggu lalu dia wisuda.”

“Wah, selamat deh. Salam juga buat Bli Rama. Kangen juga sama dia.”

“Iya. Ya sudah. Kamu tidur, biar besok gak kesiangan. Jangan lupa sholat ya.”

“Iya, Bu. Assalammualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Nana mematikan ponselnya lalu meletakkan ponsel tersebut di meja. Ia mematikan lampu kamar dan berbaring di tempat tidur.

Ingatannya kembali meluncur ke masa lalu, ketika ia masih tinggal di Denpasar. Rama tiga tahun lebih tua dari Nana. Nana adalah cucu termuda di keluarga itu, dan sering sekali menjadi korban kejahilan sepupu-sepupunya yang lebih tua. Tidak terkecuali Rama. Namun, tidak jarang pula Rama muncul menjadi penyelamat Nana. Mungkin Rama merasa aksi saudara-saudaranya terlalu berlebihan sehingga dapat menyakiti Nana nantinya.

Nana tersenyum sendiri menyaksikan rekaman masa lalu menari-nari di otaknya. Ingin rasanya kembali ke masa itu. Kembali menjalani kehidupan seorang anak kecil yang ceria dan belum tersentuh oleh permasalahan hidup. Yang ada hanyalah bermain dan belajar.

Nana menghela napas panjang. Memang sudah tidak mungkin dirinya kembali ke masa lalu. Ia lalu mencoba memejamkan mata. Tantangan esok hari telah menantinya. Ia harus punya tenaga untuk menghadapinya.

Baru beberapa menit mata Nana terpejam, ponselnya berbunyi. Ada telepon masuk. Nana memang belum benar-benar terlelap. Tapi tetap saja, dia sudah enggan bangkit dari ranjangnya.

Akhirnya bunyi dering telepon berhenti. Nana menunggu selama beberapa saat, siapa tahu ponselnya akan berbunyi lagi. Nampaknya tidak ada telepon masuk lagi. Nana pun kembali berusaha untuk tidur.

(bersambung)

0 comments:

Post a Comment