Silvermoon Sparkling - Chapter Four




Kisah sebelumnya di Chapter Three.

Hari minggu, pukul sepuluh pagi, Nana sudah duduk di salah satu kursi di Kafe 88 di daerah Kemang. Nana membawa laptop karena di kafe itu ada fasilitas wi-fi. Nana sengaja berangkat lebih awal agar tidak terjebak macet di jalan.

Nana mengirim pesan singkat kepada Rey, mengabarkan kalau dirinya sudah tiba di kafe. Rey membalas dan mengatakan bahwa dirinya masih dalam perjalanan. Pukul sebelas kurang lima menit, Rey datang.

“Sorry, Na. Aku telat ya?!”

“Enggak kok, pas malahan.”

“Kamu udah lama nunggu ya?”

“Udah dari jam sepuluh sih. Tapi aku emang sengaja datang lebih awal.”

“Kamu bawa laptop. Lagi garap tugas ya?”

“Enggak. Kan di sini hot spot.”

“Oh iya, aku lupa. Hmm…, gimana kabarmu? Lagi sibuk banget, ya, di kantor?”

“Ya, seperti biasa.”

“Kamu kerja di mana, Na?”

“Di perusahaan jasa konstruksi. Kantornya di jalan Mataram.”

“Bagian apa?”

“Bantu - bantu menghitung perencanaan bangunan. Ya, masih yang ringan-ringan. Semacam gedung perkantoran lantai 4 atau ruko. Perusahaan tempat aku kerja gak besar. Jadi dapat ordernya juga bukan yang mega proyek.”

“Oh, gitu.”

Sejenak kemudian, seorang pramusaji datang memberikan buku menu kepada Nana dan Rey. Nana memesan jus jeruk dan burger keju, sedangkan Rey memesan es teh dan sandwich tuna.

“Kamu sendiri kerja di mana, Rey?”

“Aku layouter majalah remaja. Kantorku gak jauh dari kantormu. Makanya waktu itu kita bisa ketemu di halte jalan Mataram.”

“Oh, majalah Teens ya? Udah lama kamu kerja di sana? Kok kita baru ketemu minggu lalu ya?!”

“Aku baru enam bulan di sana. Sebelumnya aku kerja di Semarang. Ya, mungkin sebenarnya kita sering nunggu bareng di halte itu. Cuma baru ngeh aja. Gara-gara aku liat HP pouch yang kamu pakai.”

Nana tersenyum. “Memang benar kata orang-orang tua dulu. Dunia cuma selebar daun kelor. Kalau udah ditakdirkan ketemu lagi, ya pasti akan ketemu lagi. Walaupun pernah terpisah jarak yang lumayan jauh.”

Rey pun tersenyum. “Ya mungkin aja gitu.”

Rey memandang wajah Nana. Wajah itu agak berbeda dari yang dulu sering ia lihat sewaktu SMP. Maksud Rey, bentuk wajah Nana memang tidak berubah. Namun, yang sekarang jauh lebih terawat, sehingga Rey merasa kecantikan Nana terpancar sepenuhnya.

Makin lama Rey melihat wajah Nana, semakin Rey merasa ada yang aneh di dalam hatinya. Rey merasa mulai menyukai Nana. Tapi buru-buru disingkirkan pikiran itu, karena perasaan itu belum tentu benar.

Nana yang sedang menatap layar laptop, tidak sadar dirinya sedang diperhatikan.

Hening terpecah ketika seorang pramusaji datang membawakan pesanan mereka.

“Hmm…, apa kabarnya Semarang ya? Udah lama gak ke sana. Apa masih sering banjir?”

“Banjir rob? Masih. Dan aku rasa tambah parah aja, soalnya pantai di sana juga gak luput dari abrasi.”

Mereka berdua terus berbincang, bercerita tentang masa lalu. Sampai tak terasa, matahari makin bergulir ke arah barat dan mereka memutuskan untuk menyudahi pertemuan itu.

Sebelum Nana masuk ke dalam taksi, Rey mengucapkan sesuatu.

“Na, terima kasih untuk hari ini. Aku jadi punya teman ngobrol di Jakarta. Umm…, it’s good to see you again.” Rey mengatakan itu semua sambil memegang bahu Nana.

Awalnya Nana kaget, namun cepat menguasai keadaan. Mungkin Rey hanya menunjukkan perasaan seorang teman yang sudah lama tidak bertemu.

Di dalam taksi, ingatan Nana kembali terbang ke masa sewaktu SMP di Semarang. Nana memang seorang anak yang tomboi, tapi bukan berarti semua temannya adalah anak laki-laki. Justru jumlah anak laki-laki yang menjadi sahabatnya bisa dihitung dengan jari. Dan Rey bukan salah satu di antaranya.



Malam ini, kebetulan langit cerah. Awan mendung yang biasanya setia menemani langit malam, entah berada di mana. Nana sangat senang dengan kondisi ini. Itu artinya, dia dapat bercengkrama dan menikmati sinar bulan.

Nana sengaja membuka jendela kamarnya agar dapat melihat bulan separuh yang memancarkan sinar keperakan. Nana sudah lupa kapan tepatnya ia mulai suka menikmati sinar bulan. Mungkin sudah sejak kecil, pikir Nana.

Dulu ketika masih di Denpasar, setiap purnama, Nana menyempatkan diri mengunjungi rumah neneknya. Di hari itu, rumah neneknya selalu ramai orang. Anak-anak dari neneknya yang tidak tinggal serumah dengan beliau, semua hadir di rumah untuk bersama melaksanakan sembahyang di pura milik keluarga. Walaupun tidak satu keyakinan dengan keluarga besarnya, Nana tidak merasa tersisihkan. Mereka semua menghargai Nana.

Dan yang paling Nana ingat, Rama sering mengajaknya ke lapangan Monumen Bajra Sandhi di daerah Renon. Mereka pergi dengan sepeda gayung. Padahal jarak dari rumah neneknya ke lapangan cukup jauh. Tapi, mereka berdua melakukannya tanpa merasa lelah.

Pada mulanya Nana tidak mengerti ketika untuk pertama kalinya Rama mengajak ke lapangan Renon. Rama pun tidak berkata apa-apa. Mereka duduk di lapangan rumput yang basah oleh embun. Setelah beberapa saat, Rama menunjuk ke arah langit, ke arah bulan yang bulat sempurna dan bersinar keperakan.

Sejak saat itu, seorang Nana kecil, kagum akan keindahan bulan. Dan bulan-bulan berikutnya, Nana selalu meminta Rama untuk mengajaknya ke lapangan Renon.

Pernah suatu ketika, Rama sedang terkena flu. Namun, Nana tetap memaksanya untuk pergi ke lapangan Renon. Rama tidak mau, karena tidak ingin sakitnya bertambah parah. Kemudian ayah Rama menyarankan mereka untuk naik ke lantai dua dan melihat bulan purnama dari sana. Mau tidak mau, Nana pun menerima usulan itu. Karena Nana mendapat omelan dari ayahnya yang kebetulan juga berkunjung ke rumah nenek.

Sepanjang malam Nana cemberut. Ia merasa tidak seru jika tidak melihat bulan purnama dari lapangan Renon.

Rama melihat adik sepupunya berwajah muram sedari tadi. Rama mengerti kekesalan Nana, tapi dirinya tidak dapat berbuat banyak. Ia takut, jika memaksakan diri pergi malam itu, penyakit flunya akan bertambah parah. Akhirnya Rama merangkul Nana dan menyandarkan kepala Nana ke bahunya. Lalu berkata, “Mudah-mudahan bulan depan kita bisa ke Renon lagi.”

Kala itu Nana sudah menginjak kelas enam, dan dia sudah memahami interaksi dengan lawan jenis. Mendapat perlakuan begitu dari Rama, hati Nana langsung berdesir. Namun, saat itu Nana belum paham sepenuhnya tentang arti jatuh cinta. Jadi, setelah kejadian itu berlalu, hilanglah pula desiran di hatinya.

Baru setelah dewasa, Nana menyadari hal itu. Tapi buru-buru Nana menegaskan pada diri sendiri, bahwa perasaan itu hanyalah perasaan kagum dan sayang seorang adik kepada kakaknya.

Tak terasa, sudah satu jam ia berdiri di dekat jendela, memandangi bulan separuh. Kini sinarnya sudah mulai redup, karena rupanya awan mendung sudah kembali menyelimuti bulan. Nana tersadar dari lamunannya. Ia tersadar karena sedari tadi, memori otaknya hanya berisi kenangan dirinya dan Rama.

Nana merindukan Rama. Ia bertanya dalam hati, apakah ibunya sudah menyampaikan pesannya kepada Rama. Mungkin belum, pikirnya. Mungkin juga sudah, tapi Rama masih terlalu sibuk untuk menghubunginya, pikirnya lagi.

Nana menutup jendela kamar. Lalu pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan membasuhwajahnya. Kemudian, ia berkeliling memeriksa jendela dan pintu dalam rumahnya. Setelah yakin semuanya terkunci rapat, Nana kembali masuk ke kamar tidur.

Nana berbaring di ranjang, namun matanya masih terbuka. Ia menunggu selama beberapa saat, berharap ponselnya berbunyi dan itu dari Rama.

‘Ah, mengapa malam ini otakku penuh dengan Rama?’ Nana bertanya dalam hati. Dan kini matanya sudah terpejam dan membawa pertanyaan itu ke dalam alam mimpinya.



(bersambung)



0 comments:

Post a Comment