Silvermoon Sparkling - Chapter Seven



Kisah sebelumnya di Chapter Six.


Nana terdiam. Ia tidak menyangka Rama akan semarah itu padanya. Selama ini, Nana tidak pernah melihat Rama semarah itu.

“Emm…, sorry, Na. Aku gak bermaksud marahin kamu. Aku… cuma ingin ngobrol berdua sama kamu. Dan aku ingin kamu merasa nyaman bersamaku.”

“Aku juga minta maaf, Ram. Aku terlalu ikut campur urusan pribadimu. Aku janji, aku gak akan tanya macem-macem lagi.”

Mimik wajah Rama sudah kembali tenang. Sambil tersenyum, dirangkulnya kembali bahu Nana.

“Mudah-mudahan nanti malam cuacanya cerah. Supaya kita bisa liat bulan lagi. I miss that moment. Kalau kamu gimana, Na?”

“Sama. Aku juga kangen sama momen itu. Kamu tau, Ram?! Pernah beberapa kali aku mencoba menikmatinya sendirian. Tapi tetap lain rasanya.”

“Kenapa gak ngajak pacarmu?”

“Terserah mau percaya apa gak. Tapi aku udah gak pernah pacaran sejak lulus dari SMP.”

“Masa sih?! Masa gak ada yang tertarik sama gadis secantik kamu?!”

“Hahaha… Aku ini pas-pasan, Ram. Kalau aku merasa diriku cantik, dari dulu aku udah ikutan casting jadi pemain sinetron.”

Mereka berdua tertawa.

“Serius, Na. Bener kamu belum pernah pacaran lagi?”

“Iya. Kenapa sih? Gak masalah kan. Pacaran kan gak wajib.”

“Kasian aja. Gak ada yang perhatian sama kamu. Gak ada yang ngajak jalan-jalan. Gak ada yang ngelus-ngelus rambutmu kayak sekarang ini.”

Jujur saja, Nana merasa tersanjung dengan perkataan Rama.

“Entah, Ram. Aku cuma belum ingin terikat suatu hubungan. Aku belum siap. Kalau pun dipaksakan, pasti hasilnya akan sia – sia.

“Belum mau terikat atau tidak mau terikat? Itu beda lho.”

“Ngomongin yang lain aja ya. Aku mati kutu kalau ditanyain hal itu.”

“Ya sementara ini, anggap aja aku jadi pacarmu.”

“Rama. Jangan mulai deh. Mau ngajak berantem lagi?”

“Kalau aku jadi pacarmu, kamu mau ngapain aku?”

“Ram. I’m warning you.”

“Boleh dicium dong.”

“Rama!” Nana memencet hidung Rama. “Nih, biar tambah kayak Pinokio tuh hidungmu.”

Rama meringis kesakitan. Dia mengusap-usap hidungnya yang agak perih karena dipencet oleh Nana.
“Kejam kau, Na. Aku kan cuma becanda.”

“Iya, aku tau kamu becanda. Tapi udah kebangetan, tau?!”

“Eh, tapi beneran nih. Kalau pacarmu minta cium, kamu kasih gak, Na?”

“Tergantung situasi, kondisi dan tempat.”

“Wah, ribet amat.”

Nana tertawa. “Lagian kamu nanya kok aneh-aneh. Itu kan urusanku.”

Tiba-tiba Rama mendaratkan kecupan ringan di kening Nana. Dan kecupan itu jelas membuat Nana sedikit terkejut.

“Yang barusan itu untuk apa?”

Thanks for being my best friend.”

Perasaan Nana mulai tidak enak. Hatinya menjadi sedikit gelisah. Sepertinya ada sesuatu yang sedang atau sudah terjadi saat ini. Nana tidak tahu apa itu. Tapi intuisinya berkata, seharusnya Rama tidak berada di sini saat ini.

“Sepertinya ada yang salah.”

“Apa itu?”

“Aku gak tau. Cuma ada yang mengganjal di hati. Atau mungkin ini cuma perasaanku aja.”

“Mungkin aku bisa bantu menyakinkan perasaanmu.”

“Caranya?”

“Caranya, jangan pikirkan hal itu. Pikirkan sesuatu yang ada di hadapanmu saat ini. Jangan pikirkan apa yang tidak nampak di matamu.”

“Emm. Sejak kapan kamu jadi brain washer, Ram?”

“Jyaaahh, ngeledek. Udah ah, aku pulang aja. Di sini diledekin terus.”

“Hahaha, bukan gitu maksudku. Maaf deh.”

Tapi di dalam hati, Nana masih merasakan ada yang aneh. Nampaknya memang telah terjadi sesuatu. Nana teramat sangat ingin mengetahui hal itu.

Ponsel Nana berdering. Nana melangkah menuju kamarnya dan menjawab telepon yang ternyata dari ibunya.

“Halo, assalammualaikum, Bu.”

“Wa’alaikumsalam,” jawab ibu Nana dengan nada gugup dan kebingungan.

“Ada apa, Bu? Kok kayaknya gawat gitu suaranya.”

“Rama, Na. Rama menghilang.”

Nana terkejut bukan main. Jadi jelaslah sudah. Perasaan gelisahnya sudah terjawab. Memang telah terjadi sesuatu.

“Hilang gimana maksud ibu?” tanya Nana. Ia berusaha bersikap sewajarnya.

“Seharusnya dia udah berangkat ke art shop tadi pagi. Dia gak bareng sama ajikmu. Ajik udah duluan ke art shop. Tapi sampai siang ajik nungguin, Rama gak dateng juga. Akhirnya ajik pulang dan nanya ke orang-orang di rumah. Orang-orang gak ada yang tahu. Hari ini memang di rumah lagi sepi. Lagi pada bantu-bantu di banjar, besok ada odalan. Ibu sendiri gak tau kapan Rama pergi dari rumah. Sebelum Ibu ke pasar, Rama masih di rumah. Setelah dari pasar, Rama udah gak ada. Ibu pikir udah berangkat ke art shop. Eh, tau-tau tadi siang ajikmu dateng sambil marah-marah. Katanya hp Rama gak aktif, jadi ajik nyariin ke rumah. Pas diliat di kamar Rama, kosong. Di mejanya ada tulisan ‘jangan cari aku’. SIM card hp-nya juga ada di meja. Pantes aja gak bisa di telpon.”

Nana mendengarkan penuturan ibunya. Sekarang ia paham apa yang terjadi. Tapi masih ada satu kepingan yang belum ditemukan. Nana harus menemukan kepingan itu dan menyatukannya. Agar dirinya lebih paham lagi apa yang sudah terjadi.

“Ibu yakin? Apa udah dicari di tempat lain?”

“Udah, Na. Ajikmu sampe lapor ke klian. Belum ketemu juga. Ajik udah telepon ke beberapa teman akrab Rama. Dia gak ada di mana-mana. Aduh, ibu sampe kasian sama ajikmu. Jangan sampe niyang tau masalah ini. Kalau sampe niyang tau, bisa anfal lagi nanti.”

“Emm, maaf ya, Bu. Nana gak bisa bantuin nyari.”

“Iya, gak apa-apa. Ibu cuma mau kasih tau kamu. Tadi malem sih, ibu liat Rama lagi ngobrol sama ajikmu. Tapi Rama terus pergi sambil merengut. Mungkin abis selisih pendapat sama ajik. Ibu gak tau pastinya. Emm…. Udah dulu ya. Kayaknya niyang butuh bantuan ibu lagi. Assalammualaikum.”

“Wa’alalikumsalam.”

Nana meletakkan ponselnya di meja. Beberapa kali ia menghela napas panjang dan mengatur mimik mukanya. Jangan sampai Rama tahu kalau dirinya kini mengerti apa yang terjadi. Setelah yakin, Nana kembali ke ruang tamu.

“Ibumu?” tanya Rama.

“Iya.”

“Tadi aku dengar ada yang hilang. Apa itu?”

“Umm… itu… copy resep obat-obatnya niyang,” jawab Nana berbohong.

“Hilang lagi?! Dulu udah pernah hilang sampe dua kali. Sekarang hilang lagi?! Emang nyimpennya di mana sih?”

“Aku gak tau,” jawab Nana pelan.

Sehari ini, otak Nana tidak fokus pada pekerjaannya. Pikirannya bercabang antara tugas kantor dan masalah Rama. Entah harus bagaimana Nana mencari tahu apa yang sudah terjadi pada sepupunya itu. Pastinya Nana harus bertanya langsung pada Rama. Yang sulit adalah bagaimana caranya agar Rama tidak menghindar ketika Nana mengajaknya berbicara.

Sepulang kerja, seperti biasa, Nana menunggu bus kota di halte jalan Mataram. Baru lima menit berdiri di halte, Rey datang menghampiri Nana.

“Udah lama nunggunya, Na?”

“Ya sekitar lima menit. Gimana kabarmu, Rey?” tanya Nana.

“Baik. Kamu sendiri gimana, Na?”

“Emm…, lumayan lah. Agak sibuk juga. Tapi sejauh ini masih bisa di-handle.”

“Oya, kapan-kapan kita bisa ke Kemang lagi gak? Aku pengen ngobrol lagi sama kamu.”

“Bisa aja. Tapi untuk minggu ini, aku gak bisa. Ada sepupuku yang dari Denpasar datang dua hari lalu. Jadi aku harus nemenin dia.”

“Oh, gitu. Sampai kapan sepupumu ada di sini?”

“Sekitar dua mingguan. Sampai tahun baru, mungkin. Aku juga belum tanya lagi ke dia.”

“Sepupumu cewek ya? Kenalin ke aku dong, Na.”

“Emm…, dia cowok.”

“Cowok?! Wah berarti sekarang ini kamu tinggal serumah sama seorang cowok.” Rey berkata dengan raut wajah orang keheranan.

“Tenang aja, Rey. Kami tidur di ruangan berbeda,” balas Nana sambil tersenyum.

“Tetep aja gak bisa, Na.”

“Maksudmu?!”

“Aku cemburu.”

“Cemburu?!” Sekarang giliran Nana yang keheranan. “Apa yang mau dicemburuin. Dia kan sepupuku. Lagipula, kalau kamu cemburu ke aku, berarti kamu menganggap ada hubungan selain pertemanan di antara kita berdua.”

“Emm…, kira-kira begitu lah.”

Nana tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Matanya tidak lepas dari wajah Rey. Nana menatap mata Rey dan mencari tahu apa yang ada di pikiran Rey.

“Jadi intinya, baru aja kamu nembak aku. Atau, sebenarnya apa maksud omonganmu tadi?”

“Ya.”

“’Ya’ apa? Yang jelas dong.” Nana seolah tidak peduli pembicaraan ini didengar oleh orang-orang yang berdiri di sekitar mereka.

“Ah, udahlah, Na. Anggap aja aku lagi ngomong sama bulan separoh yang baru nongol di atas. Anggap aja kamu gak dengar apa-apa.”

Nana melihat ke langit sore yang mulai kemerahan. Bukan bulan separuh, itu bulan yang hampir penuh, pikir Nana. Langit sedang cerah sehingga bulan itu jelas terlihat. Rama pasti senang melihatnya, pikirnya lagi. ‘Ah, Rama. Mengapa kau tidak bisa sejenak menyingkir dari otak belakangku? Aku ingin menggantinya dengan orang lain, tapi sepertinya aku tidak pernah bisa melakukannya.’

“Na, aku duluan ya. Bisnya udah dateng. Kapan-kapan aku telepon kamu lagi.”

Rey tidak menunggu Nana membalas perkataannya. Ia hanya melempar senyum ke arah Nana. Lalu ia menaiki bus yang sebenarnya sudah penuh sesak dengan penumpang.

Sedangkan Nana tetap mematung di halte. Apa yang terjadi, berlalu begitu saja di hadapannya. Nana tersadar dari lamunannya ketika ponselnya berbunyi. Rama menelepon.

“Halo, Ram. Ada apa?”

“Na, kamu di mana? Kok sampe sore banget belum sampe rumah. Aku udah masak nih. Ayo cepet pulang. Kita makan bareng. Aku udah laper nih, kelamaan nunggu kamu.”

“Iya, sebentar. Aku masih nunggu bis. Sabar ya. Kalau udah laper banget ya gak apa-apa kamu makan duluan.”

“Ah, gak asik. Ya deh, aku tunggu kamu. Tapi jangan kelamaan ya.”

“Iya. Sabar ya.”

Nana memutuskan sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dan sejenak kemudian, bus yang Nana tunggu sudah tiba. Nana langsung menyetop bus itu dan menaikinya. Anehnya lagi, bus itu dalam keadaan agak lengang. Walaupun hampir seluruh kursinya terisi, tapi masih menyisakan satu untuk Nana. Nampaknya Tuhan sedang mengabulkan permohonan Rama kali ini, pikir Nana.

Perjalanan pulang hari ini terbilang lancar. Di terminal Kampung Rambutan, Nana langsung dapat angkutan kota yang membawanya ke daerah Ciracas. Dan angkutan itu tidak berlama-lama berhenti di satu tempat untuk mencari penumpang. Jarak dari kantor ke rumah, yang biasanya ditempuh selama satu jam lebih, sekarang hanya memakan waktu 45 menit.

Di rumah, Nana disambut pelukan hangat oleh Rama.

“Emm, badanmu bau angkot, Na. Kamu mandi dulu ya. Terus sembayang. Abis itu baru kita makan bareng.”
“Iya. Aku mandi dulu,” jawab Nana sambil berlalu ke kamarnya. “Ngomong-ngomong, tadi kamu minta apa sama Tuhan?”

“Maksudnya?!”

“Tadi perjalanan pulangku lancar tanpa hambatan. Biasanya jam segini aku masih di terminal, nunggu angkot ngetem. Sekarang, belum juga magribnya dateng, aku udah sampai rumah.”

“Hahaha, kamu ada-ada aja, Na. Aku gak minta macem-macem kok. Aku cuma pengen kamu pulang dalam keadaan utuh. Masalahnya, kalau kamu ada apa-apa di jalan, kan aku juga yang susah.”

“Uuu, so sweet, ya. Gombal kau, Ram,” kata Nana sambil mencibir ke arah Rama.

“Ah, udah sana mandi. Tetep aja, kalau dikasih tahu suka gak percayaan.”

Selesai mandi dan sholat magrib, Nana menemani Rama makan malam. Nana terkejut melihat makanan yang terhidang di meja. Ada rendang daging sapi, rebusan daun singkong, perkedel jagung, dan sambal ijo.

“Lho, Ram. Ini sih masakan padang. Emangnya semua ini kamu masak sendiri?”

“Iya. Aku masak di sebelah mini market tuh, yang deket perempatan,” jawab Rama.

“Yee, itu sih rumah makan padang Bu Andi. Kirain beneran kamu masak sendiri. Gak taunya, beli di warung.”
Rama tertawa melihat reaksi Nana. “Udahlah, yang penting makan.”

“Eh, Ram. Tadi aku ditembak di halte bis, tau. Hihihi… Ada-ada aja ya.”

“Ditembak siapa? Temen kantormu?”

“Bukan. Dia temen SMP-ku waktu di Semarang. Ketemunya juga baru minggu kemaren.”

“Terus? Kamu terima?”

“Ya enggak lah. Aku sama dia bukan temen akrab. Cuma sekedar kenal aja. Aku gak mau asal nerima pinangan orang yang belum benar-benar aku kenal. Ntar kalau ada apa-apa di tengah jalan, kan aku yang rugi.”
“Hmm…, alasan aja. Bilang aja tampangnya kurang memenuhi syarat. Aku tahu seperti apa tipe pria yang kamu sukai.”

“Huuu, sok tau.”

(bersambung)


0 comments:

Post a Comment