Rindu




Aku mengingatmu. Selalu. Kau sudah berada di otak kecilku sejak pertama kali kita bersua di chat room beberapa tahun yang lalu. Ya…, aku mengingatmu…, walau belum pernah bertemu denganmu….

Senyum Nina merekah ketika ia membaca ulang coretan iseng yang ia buat malam sebelumnya. Ia menyimpan kembali selembar kertas itu di atas meja kerjanya dan beranjak ke arah jendela. Ia membuka jendela kamarnya dan membiarkan udara pagi yang segar menerobos masuk.

Hari sudah terang walau jarum jam masih menunjukkan pukul enam pagi waktu Denpasar. Nina memandang dunia luar dari balik jendela kamarnya. Apa yang ia lihat memang bukanlah pemandangan pegunungan atau pantai dengan bentangan air laut yang biru, tapi hanyalah atap dari deretan rumah-rumah di sebuah pemukiman padat penduduk. Walaupun begitu adanya, ia tetap tersenyum. Karena hari ini adalah hari yang sangat ia tunggu sejak bertahun-tahun lamanya. Ia akan bertemu Pram untuk yang pertama kalinya.

Ponsel Nina berdering. Ada telepon masuk. Ia segera menyambar benda itu dari atas meja riasnya. 

“Halo,” sapanya.

“Halo, Ade,” jawab seseorang di ujung telepon.

Nina tersenyum mendengar sapaan yang sudah sangat ia kenal. “Mas….”

“Kau sudah bangun?!”

“Sudah. Mas sedang di mana ini?”

“Masih di bus, menuju bandara.”

“Jadi… nanti kita bertemu di mana?”

“Di hotel saja. Nanti mas kabari lagi jika sudah mendarat di Ngurah Rai.”

“Baiklah. Aku tunggu.”

“Ehm… Nina….”

“Ya….”

“Akhirnya hari ini terjadi juga. Kau… dan aku…, akhirnya bisa bertemu setelah delapan tahun lamanya.”

“Iya, Mas…. I just can’t wait.”

Pukul sepuluh lebih tiga puluh menit, ponsel Nina berbunyi lagi. Kali ini ada pesan singkat yang masuk ke inbox ponselnya. Buru-buru Nina membuka pesan itu. Blue Ocean Hotel, Kuta. Room 339. Itulah isi pesan singkat yang dikirim Pram untuknya.

Nina bergegas menuju tempat yang diminta Pram. Motornya dipacu sekencang yang ia bisa. Ia bahkan tidak peduli panasnya udara di luar membuat peluhnya bercucuran. Dua puluh lima menit kemudian, ia sampai di hotel dan langsung bertanya letak kamar 339 kepadareceptionist. Seseorang mengantarnya sampai persis di depan kamar nomor 339.

Sejenak Nina ragu. Ia kembali berpikir, apakah yang dilakukannya sekarang ini tidak akan menimbulkan masalah. Tangannya sudah akan mengetuk pintu kamar itu, tapi tiba-tiba daun pintu itu bergerak, menciptakan sedikit celah.

“Masuklah,” ujar sebuah suara dari dalam kamar.

Nina agak bingung. Tapi ia menurut saja. Ia masuk ke kamar itu dan seorang pria langsung tersenyum ke arahnya.

“Bagaimana kau tahu kalau itu aku?”

“Hmm…. Katakanlah aku mempunyai indera keenam untuk mengetahui kedatanganmu, Nina.”

“Kau bohong. Pasti receptionist itu sudah mengatakan padamu perihal kedatanganku.”

It’s that matter?!” Pram perlahan mendekati Nina. Dan sekarang, wajah Pram hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah Nina. “Aku… merindukanmu…,” ujarnya sambil membelai wajah Nina.

Me too….”

Satu pagutan tercipta dari bibir Nina dan Pram. Kini… rindu mereka telah bersatu. Dan atas nama cinta, impaslah sudah tahun-tahun yang telah mereka lalui, terbayarkan dengan terrangkainya lisan di satu udara yang sama.

***

Sumber gambar

Artikel dapat dilihat juga di sini.

0 comments:

Post a Comment