Silvermoon Sparkling - Chapter Six



Kisah sebelumnya di Chapter Five.


Hampir pukul dua siang, Nana dan Rama sampai di rumah. Rama membayar ongkos taksi. Setelah taksi itu pergi, Nana membukakan pintu rumahnya.

“Tadinya aku kira rumahmu ada di lingkungan padat bangunan dan miskin pohon,” ujar Rama yang akhirnya mulai membuka percakapan. “Tapi ternyata lingkungannya masih kampung banget ya.”

“Iya. Jarang ada tempat seperti ini lagi di Jakarta. Penduduk asli wilayah ini benar-benar menjaga aset mereka supaya gak dibeli sama para investor serakah.”

Rama tersenyum dan senyuman itu membuat Nana kikuk. Nana jadi salah tingkah dan hampir saja bertingkah konyol di hadapan Rama. Cepat – cepat Nana berpikir mencari cara agar terbebas dari senyuman yang membius itu.

“Emm…, aku beresin kamar tamu dulu ya. Masih berantakan, belum sempat aku rapikan.”

“Ya, silahkan.”

Nana buru-buru masuk ke kamarnya, mengambil satu set sprei dan selimut. Lalu menuju kamar tamu dan mengganti sprei yang lama dengan yang baru. Ia juga menyapu lantainya. Walaupun tadi pagi Nana sudah menyapu seluruh lantai rumah, termasuk kamar tamu, tapi ia lakukan lagi untuk kamar itu. Nana hanya tidak ingin membuat kesan jelek kepada sepupunya itu.

Sprei baru sudah terpasang. Yang lama sudah Nana masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. Nana kembali ke kamar tamu dan merapikan letak bantal serta guling di atas ranjang. Namun terhenti tiba-tiba karena Rama meraih tangan Nana.

“Udah, Na, gak perlu repot-repot dirapikan,” kata Rama. “Nanti juga kalau dipake pasti acak-acakan lagi kasurnya.”

“Gak apa-apa kok. Memang spreinya sudah waktunya diganti.”

Tangan Nana masih berada dalam genggaman Rama. Tidak hanya itu, Rama juga memperhatikan wajah Nana sambil tersenyum. Sekali lagi, Nana dibuatnya kikuk dengan senyuman itu.

“Umm…, can I get my hand back?” tanya Nana.

No, you can’t,” jawab Rama sambil terus menggenggam tangan Nana. “Did I told you that I miss you so much?”

Yes, you did. You told me on the phone. Why?”

Can I hugh you?”

Sorry, you can’t.”

Why?”

Because… I’m just… your cousin. And I don’t deserve… to get it.”

Kamu memang sepupuku, Na. My best cousin I ever had. And of course, you deserve to get it.”

“Aku mau ke dapur dulu menyiapkan makanan,” kata Nana sambil berusaha mendapatkan kembali tangan kanannya.

Namun, yang terjadi kemudian, Rama menahannya dan menarik tubuh Nana ke dalam pelukannya. Nana sempat meronta, tapi hal itu malah membuat Rama makin erat memeluk Nana.

”Diem dulu dong, Na. Aku kan cuma pengen memeluk kamu. Aku gak akan nyakitin kamu kok.”

Nana menyerah. Kekuatannya jelas jauh lebih kecil dibandingkan dengan Rama.

Kehangatan mulai menyerbu diri Nana, terasa sampai ke ruang hatinya yang kosong. Nana lupa kapan terakhir kali dia merasakan kehangatan seperti itu. Nana tidak menemukannya ketika ia bersama Jodi. Tidak juga bersama pria lain. Karena Nana memang tidak pernah lagi menjalin hubungan spesial dengan seorang pria setelah ia putus dengan Jodi.

Sepertinya, terakhir Nana merasakan hal itu ketika melihat bulan purnama dari lantai dua rumah neneknya di Denpasar. Dan pria yang bersamanya saat itu adalah Rama.

“Bagaimana dengan Dayu?” tanya Nana.

Perlahan Rama mengendurkan dekapannya pada tubuh Nana. Rupanya pertanyaan itu berhasil mengalihkan perhatian Rama. Rama duduk di tepi ranjang. Ia melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja kecil di samping ranjang.

“Aku udah putus sama Dayu,” jawab Rama.

“Lho, kapan?” Nana ikut duduk di samping Rama. “Kok gak ada yang cerita ke aku ya? Kalian kenapa?”

“Sebenernya gak ada apa-apa. Cuma, aku gak bisa jadi sentana. Kamu kan tahu kalau Dayu itu anak tunggal dan harus menikah dengan pria yang bersedia masuk ke lingkaran keluarganya. Sedangkan aku. Adikku cuma satu, perempuan, dan udah pasti dia akan keluar rumah. Otomatis aku jadi penerus tunggal. Susah dicari solusinya kalau kondisinya udah seperti itu.”

Nana tidak berani berkomentar. Ia takut nantinya malah menyinggung perasaan Rama.

Oh, God,” lanjut Rama. “I wish I born as someone else.”

“Kamu masih sayang sama Dayu?”

“Ya.”

“Kapan kamu putus dengan Dayu?”

“Udah lama, sekitar tiga tahun yang lalu. Tepat seminggu setelah orang tua Dayu tahu kalau anaknya pacaran sama aku. Ada seseorang kenalan keluarga mereka yang melihat aku sama Dayu lagi jalan di Jimbaran.”

“Lho, jadi selama kalian pacaran, orang tua Dayu gak tahu hal itu?!”

“Iya. Karena aku dan Dayu juga yakin dari awal bahwa hubungan ini gak akan direstui oleh orang tua Dayu. Jadi kami merahasiakannya dari keluarga Dayu. Aku dan Dayu hanya ingin menjalaniapa yang terjadi saat itu. Gak mau berpikir dulu untuk masa depan. Karena cepat atau lambat, aku dan Dayu akan berpisah juga.”

“Udah tiga tahun ya?!”

“Kamu pikir kenapa aku ngambil kuliah S2 di Singapura? Padahal di Udayana juga bisa. Karena aku ingin berusaha melupakan Dayu. Sebelum berangkat ke Singapura, kerjaanku di art shop gak karuan. Akhirnya ajikmu ngambil alih lagi urusan art shop dan aku disuruh kuliah lagi. Aneh ya?! Orang lagi stress karena putus cinta, eh malah disuruh kuliah lagi.”

“Ajik emang gitu kan. Selalu ngasi solusi yang aneh, tapi pada akhirnya kita bisa merasakan manfaat dari solusinya. Kayak kamu sekarang. Kamu udah mulai bisa melupakan Dayu, plus kamu dapat ilmu dari kuliahmu.”

“Ya. But thanks to you, now I remember that thing again.”

“Umm…, sorry deh. Aku gak ada maksud apa-apa. Kan gara-gara kamu juga, tiba-tiba meluk aku.”

Hey, enough for the past. Sekarang kita makan. Aku lapar. Ada makanan apa, Na?”

“Cuma ada bakwan jagung sisa sarapan tadi pagi. Sebentar ya, aku panasin sarden dulu.”

“Oke deh, aku juga mau mandi dulu.”

Satu jam kemudian, Nana dan Rama sudah berada di meja makan. Rama sudah mandi dan berganti pakaian. Wangi sabun yang Rama pakai, memenuhi hampir seluruh ruangan dapur, berlomba dengan aroma ikan sarden yang terhidang di meja.

Mereka menikmati santapan sambil berbincang.

“Besok kita jalan-jalan ya, Na.”

“Ke mana?”

“Enaknya ke mana? Kamu kan yang tau Jakarta.”

“Kalau hari minggu pagi yang rame di monas. Ada car free day di seputaran monas. Banyak orang jogging atau sekedar jalan-jalan.”

“Hmm…, kalau gitu gak usah ke mana-mana deh. Di rumah aja, ngobrol.”

“Hah?! Tadi bilang pengen jalan-jalan. Yang bener yang mana?”

“Hehehe. Di rumah aja ya.”

“Iya. Rencananya berapa hari di Jakarta? Kalau weekdays, aku gak bisa nemenin lho. Aku kan harus kerja.”

“Gak masalah. Aku gak apa-apa di rumah aja. Aku bisa baca-baca. Aku lihat koleksi buku-bukumu lumayan banyak. Rasanya itu cukup untuk membunuh waktu.”

“Terus, kapan balik ke Denpasar?”

“Bareng sama kamu nanti kalau pindahan.”

Nana kaget. Hampir saja ia tersedak makanan yang masih berada di mulutnya. Buru-buru Nana minum dan kembali mengatur napas.

“Kenapa?” tanya Rama.

“Dari mana kamu tahu kalau aku mau pindah ke Denpasar?”

“Ibumu yang cerita. Walaupun ibumu juga bilang kalau itu belum pasti. But, lets pray it will happend soon.”

“Apa ajik gak nyariin kamu? Kepastian kepindahan itu masih lama. Paling cepat akhir pekan depan baru ada kabarnya.”

“Jangan bilang-bilang sama orang rumah ya. Aku pamit ke orang rumah bukan untuk ke tempatmu. Aku bilang, aku nginep di tempat temen kuliahku waktu di Singapura.”

“Rama…. Jadi aku harus bilang apa kalau ibu atau ajik nanyain kamu?”

“Ya gak usah bilang apa-apa. Anggap aja gak ada aku di sini.”

“Ah, kamu ada-ada aja. Berarti aku harus bohong sama orang rumah nih?!”

“Sekali ini aja ya,” jawab Rama sambil melempar senyum kepada Nana.

“Iya deh.”

Selesai makan, Nana membereskan piring-piring kotor. Lalu menyiapkan dua cangkir kopi instan. Nana membawa kopi ke ruang tamu. Di sana, Rama sudah duduk menunggu.

Rama mengambil bungkus rokok yang tadi diletakkannya di meja tamu. “Aku boleh ngerokok di sini?” tanya Rama sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya.

“Boleh aja, tapi aku gak mau duduk di sebelahmu.”

Rama memasukkan kembali batang rokok ke dalam bungkusnya dan menaruhnya di meja. “Nah sekarang kamu bisa duduk di sebelahku.”

“Kok gak jadi ngerokoknya? Aku gak ngelarang kamu kok.”

“Gak apa-apa. Sini, duduk.”

Nana duduk di samping Rama dan Rama langsung melingkarkan tangannya ke bahu Nana.

“Ehem.” Nana berdeham. “Tanganmu apa gak salah posisi?” tanya Nana.

“Gak tuh. Kenapa? Gak boleh ya aku rangkul kamu?”

Just seems a little bit uncomfy for me.”

“Maka biasakanlah mulai saat ini. Tapi jangan sampai kamu punya pikiran negatif ke aku. Aku tetap tahu sampai mana batasnya.”

Nana menghela napas panjang. Biarlah, pikir Nana, toh tidak akan terjadi apa-apa. “Oke, aku pegang kata-katamu.”

Rama menyandarkan kepala Nana ke bahunya. Rama membelai rambut panjang Nana. “Udah merasa nyaman sekarang?”

“Sebenarnya untuk apa kamu kemari?” Nana tidak menjawab pertanyaan Rama. Ia malah balik memberi pertanyaan pada Rama. “Pasti bukan karena kamu mau jemput aku, kan?!” lanjut Nana.

“Aku masih inget, Na. Aku merangkul kamu kayak gini pas kita lagi liat bulan di kamarku di lantai dua.”

Nana kembali duduk tegak dan dipandangnya wajah Rama. Seolah ingin tahu lebih dalam, pikiran apa yang ada dalam otak Rama.

“Sebenernya kamu kenapa sih? Tanya Nana. “Aku nanya apa, kamu jawabnya ngelantur jauh banget.” Kali ini Nana memilih untuk bersikap tegas kepada Rama.

“Kamu yang mulai duluan,” jawab Rama tidak kalah tegasnya. “Aku nanya, apa kamu udah merasa nyaman? Kamu gak jawab, malah balik nanya ke aku. Dan topik pertanyaanmu lebih gak nyambung. Kalau sekali lagi kamu nanyain hal itu, sumpah, aku langsung balik ke Denpasar dan aku gak mau kenal lagi yang namanya Kalina Mahayuni. Paham?”

(bersambung)

0 comments:

Post a Comment