Silvermoon Sparkling - Chapter Five




KIsah sebelumnya di Chapter Four.

Minggu ini adalah minggu yang cukup melelahkan bagi Nana. Perhatiannya tersita pada tugas-tugas dari kantornya. Ada beberapa garapan baru yang diberikan kepadanya. Walaupun semuanya merupakan proyek kecil, namun tetap saja Nana agak kewalahan mengerjakan. Otomatis pikiran tentang kepindahannya ke Denpasar agak tersisih karena kesibukan ini.

Otak Nana baru dapat beristirahat di hari sabtu. Kali ini dia memutuskan untuk tidak kemana-mana. Ia ingin menghabiskan waktu akhir pekannya di rumah saja sambil memanjakan diri dengan membaca buku-buku koleksinya. Hari ini pula ia putuskan untuk sejenak tidak menyentuh laptop. Karena jika sudah mengaktifkan laptop, ia akan kembali terpancing untuk segera menuntaskan pekerjaan dan tanggung jawabnya untuk perusahaan.

Pukul sembilan pagi, setelah sarapan dan mencuci baju, Nana mulai menyusuri koleksi buku-bukunya yang tertata rapi di bufet. Untuk bacaan pertama, ia mengambil salah satu novel remaja karya Alfred HitchcockAlfred Hitchcock adalah salah satu dari sekian banyak penulis favorit Nana.

Nana meletakan bukunya di meja depan. Ia beranjak ke dapur dan membuat segelas besar es teh. Lalu membuka lemari pendingin dan mengambil sebungkus corn chips. Ini cukup untuk menemani membaca buku, pikirnya.

Baru tiga puluh menit berlalu, Nana berhenti membaca karena mendengar ponselnya berbunyi. Tapi Nana membiarkannya sampai ponselnya berhenti berbunyi. Nana sedang malas menerima telepon. Kalau memang penting, orang itu pasti akan menelepon lagi, pikir Nana.

Dan benar saja, tidak sampai satu menit berlalu, ponsel Nana berbunyi lagi. Kali ini Nana segera berlari ke kamar tidur dan menyambar ponselnya sebelum deringnya berakhir.

“Hallo,” sapa Nana.

“Hallo,” balas suara di ujung telepon. “Apa benar ini dengan Kalina Mahayuni?” tanya orang itu.

Nana kaget mendengar pertanyaan si penelepon. Karena jarang sekali ada orang yang tahu nama lengkapnya. Bahkan di kantornya hanya Pak Darwis, paman Nana, yang tahu nama lengkap Nana. Orang ini pasti masih kerabat, pikir Nana.

“Iya, betul. Saya Kalina Mahayuni. Maaf ini siapa ya? Karena nomornya tidak saya kenal.”

“Hmm…, masa dari suaranya kamu gak kenal aku, Na?”

“Umm, maaf banget. Tapi aku gak tahu. Kamu siapa ya?”

“Apa kamu masih punya waktu buat lihat bulan lagi di Renon?” tanya si penelepon.

Nana hampir meloncat kegirangan begitu mendengar pertanyaan itu. “Rama?!”

“Hehehe…. Iya, ini aku. Gimana kabarmu?”

“Baik-baik aja, Bli. Aduh, ya ampun. Aku pikir Bli udah lupa sama aku.”

“Gak usah manggil aku Bli. Panggil Rama aja. Biar lebih enak. Kamu lagi di mana?”

“Di rumah.”

“Kamu bisa jemput aku?”

“Lho, emang kamu di mana?” tanya Nana heran.

“Masih di Ngurah Rai. Setengah jam lagi pesawatku take off. Kamu bisa jemput aku di Cengkareng?”

“Hah?! Mau ke Jakarta?”
“Iya. Aku pengen main ke tempatmu. Kenapa? Gak boleh ya?”

“Umm…, boleh sih. Tapi kok mendadak gini bilangnya.”

“Daripada aku gak bilang sama sekali. Pilih mana, hayo?!”

“Iya deh, aku jemput. Berarti sekitar dua jam lagi pesawatnya sampai Cengkareng ya?!”

“Ya, betul. Aku tunggu ya.”

“Iya.”

“Oya, satu lagi.”

“Apa?”

I really miss you.”

Belum sempat Nana menanyakan maksud kalimat terakhir Rama, sambungan telepon sudah terputus. Selama beberapa saat Nana termenung, sampai bunyi dering pesan singkat menyadarkan dirinya. Itu dari Rama.

Aku tau kamu lagi bengong. Tapi jgn kelamaan ya. Cpt ganti baju, dandan yg cantik. Trus jemput aku di bandara. Oke?! Aku tunggu.

Nana cepat-cepat berganti pakaian. Ia memilih kaos lengan panjang dan celana jeans. Lalu memoles sedikit bedak dan lip gloss pada wajah dan bibirnya, memasukkan dompet dan ponsel ke dalam tasnya, dan bergegas mengunci seluruh jendela dan pintu belakang.

Ia menumpang bus kota menuju terminal Blok M dan selanjutnya menumpang bus patas jurusan bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Sepanjang perjalanan menuju bandara, Nana tidak henti-hentinya mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri. Kira-kira ada keperluan apa, sampai Rama datang ke Jakarta tanpa mengabarkan padanya jauh hari sebelumnya. Semoga saja bukan karena urusan yang gawat, pikir Nana.

Terakhir kali Nana bertemu dengan Rama, ketika masih duduk di bangku kelas dua SMA. Kira-kira sebulan sebelum Nana kehilangan ayahnya. Waktu itu Rama sudah kuliah semester tiga. Dan saat itu, Nana hanya sebentar bertemu Rama. Rama sedikit sibuk dengan tugas-tugas kampus. Nana sungkan untuk meminta Rama menemaninya jalan-jalan. Dan ketika Nana mempunyai keberanian untuk mengajak Rama, Dayu - kekasih Rama - sedang datang berkunjung ke rumah Rama. Sungguh bukan waktu yang tepat, pikir Nana.

Kini, masa itu akan terbayar, ujar Nana dalam hati. Rama sedang menuju Jakarta. Dan Nana memiliki seluruh waktu Rama di tempat ini. Hanya saja Nana masih berharap kalau Rama tidak datang dengan kekasihnya. Nana benar-benar sangat mengharap hal itu.

Pukul dua belas kurang beberapa menit, siang hari, Nana sudah sampai di depan pintu kedatangan domestik. Nana baru sadar betapa bodohnya dia saat ini karena tadi tidak menanyakan nomor penerbangan pada Rama. Nana memperhatikan layar monitor yang menampilkan nomor-nomor penerbangan dan statusnya. Ada dua penerbangan dari Denpasar. Keduanya berjarak sepuluh menit. Yang mana nomor penerbangan Rama, tanya Nana dalam hati.

Merasa tidak ada ide untuk hal itu, Nana memilih untuk memperhatikan setiap penumpang yang keluar dari pintu kedatangan. Namun rasanya sulit dilakukan. Hari itu sedang ramai sekali. Sulit untuk mencari wajah Rama di antara ratusan orang yang lalu lalang di tempat itu.

Nana hampir putus asa. Nana beranjak dari tempatnya berdiri dan duduk di bangku kayu panjang yang ada di tepi selasar. Di tatapnya layar ponsel yang tergenggam di tangannya, berharap ada kabar dari Rama.

Sudah sepuluh menit Nana duduk di bangku itu. Tangannya masih menggenggam ponsel. Baru saja dia mencoba menghubungi Rama, tapi ponsel Rama belum aktif. Di dalam pesawat, seluruh alat komunikasi memang harus dimatikan, termasuk ponsel. Dan nampaknya Rama belummenghidupkan kembali ponselnya.
Nana masih menunggu. Ia belum beranjak dari tempat duduknya, ketika ada seorang pria duduk tepat di sebelah Nana. Nana tidak memperhatikan siapa pria itu. Ia pikir, pasti orang itu salah satu penumpang yang sedang menunggu seseorang menjemputnya. Nana melihat orang itu membawa koper, jadi tentu orang itu bukan seorang penjemput.

“Udah lama nunggunya?” tanya pria itu.

Nana kaget dan langsung menoleh ke samping melihat wajah pria itu. Diperhatikannya sejenak, lalu mimik wajah Nana berubah gembira. Pria itu adalah Rama. Wajah Rama tidak berubah, masih tetap seperti terakhir kali Nana melihatnya sembilan tahun yang lalu.

“Rama?!”

“Iya, ini aku. Udah lama nunggunya?”

“Enggak sih, sekitar lima belas menit. Umm…, kamu kok langsung tahu aku duduk di sini?”

“Rahasia,” Rama menjawab sembari tersenyum menggoda Nana.

“Kok gitu?!”

“Nanti aja jawabnya. Sekarang kita naik taksi aja ya. Aku males kalau harus oper bis kota.”

Taksi yang mereka tumpangi meluncur melewati jalanan kota Jakarta yang padat. Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke rumah kontrakan Nana di kawasan Jakarta Timur. Selama itu juga Nana dan Rama terdiam. Hanya sesekali Nana bersuara untuk mengarahkan supir taksi menuju jalan ke rumahnya.

(bersambung)

0 comments:

Post a Comment