Silvermoon Sparkling - Chapter One




Ini adalah malam kedelapan di bulan Desember. Bulan di mana warna biru jarang sekali terlihat di langit. Bulan di mana tanah hampir setiap saat berwarna coklat tua. Juga bulan di mana untuk pertama kalinya Nana melihat wajah pria itu.

Sore tadi, sepulang kerja, Nana menunggu bus kota di halte. Dengan kesal, Nana menunggu bus lewat sambil berdiri. Karena saat itu, bangku di halte bus sudah penuh dengan orang. Nana sendiri yakin, tidak semua orang duduk di bangku itu sedang menunggu bus kota. Kondisi saat itu sedang hujan. Pastilah sebagian dari mereka yang duduk di bangku itu, hanya ingin berteduh sambil menunggu hujan reda.

Sudah puluhan bus yang melewati halte itu, tapi Nana belum juga mendapatkan bus yang ia maksud. Sampai hari beranjak malam dan jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit, Nana masih berada di halte itu. Lima belas menit yang lalu, bus terakhir sudah lewat. Namun karena kondisinya penuh sesak, Nana tidak berani menaikinya.

Di halte itu, hanya ada empat orang, termasuk Nana. Ada seorang pedagang asongan, seorang wanita paruh baya, dan seorang lagi adalah pria berjaket kulit. Wanita paruh baya tadi menghentikan mobil taksi, lalu menaikinya. Kini hanya ada tiga orang di halte itu.
Nana berpikir nampaknya ia harus naik taksi malam ini. Baru saja ia akan bangkit dari duduknya, tapi pria berjaket kulit itu sudah ada di hadapannya.

Rasa takut langsung menghampiri Nana. Jangan-jangan pria ini berniat menyakiti dirinya, pikir Nana.

“Kamu Nana, ya?” tanya pria itu.

Nana kaget mendengar pertanyaan pria itu. Karena penasaran, Nana pun buka mulut walau dengan terbata-bata.

“Iy… iy… iya. Ta… tapi, dari mana kau tahu namaku?”

“Aku Rey. Reymon Affandi. Teman sekelasmu waktu SMP.”

“Rey?! Sorry, Rey yang mana ya?”

“Kamu dulu sekolah di SMP Negeri 5 Semarang, kan?!”

“Iya. Dari mana kau tahu itu?”

“Kan sudah aku bilang. Aku Rey, temanmu waktu SMP.”

Lama Nana terdiam sambil mengingat-ingat siapa saja temannya waktu SMP. Dan ia ingat, memang pernah memiliki teman bernama Rey. Tapi Nana tidak yakin kalau Rey yang di hadapannya saat ini adalah Rey teman sekolahnya dulu.

“Tapi,” lanjut Nana, “Rey yang aku kenal, orang gendut dan dia punya bekas….”

“Bekas luka,” potong pria itu. “Ini masih ada,” katanya lagi sambil menunjukkan punggung tangan kirinya. Ada bekas luka sepanjang tiga senti, akibat terjatuh dari motor.

Nana kembali terkejut melihat bekas luka itu. Pria ini memang benar Rey, teman sekolahnya dulu. Tapi Rey yang sekarang sangat berbeda. Rey tidak lagi bertubuh tambun.

“Sebenarnya dari tadi aku ingin sekali menyapamu, Na. Tapi tadi aku masih gak yakin kalau itu kamu. Abis kamu beda banget. Dulu kamu tomboi. Rambutmu pendek, persis anak laki-laki. Sekarang rambutmu panjang dan penampilanmu berubah jadi feminim.” Lalu Rey duduk di samping Nana.

Nana hanya tersenyum mendengarnya. “Lalu, dari mana kamu yakin kalau aku Nana temanmu?”

“Dari HP pouch yang kamu pakai. Tadi kamu sempat ngeluarin HP kan. Terus aku lihat HP pouch itu. Entah gimana, aku langsung yakin kalau itu kamu.”

“Oya? HP pouch seperti punyaku kan gak cuma satu. Mungkin ada beberapa orang lagi yang punya persis seperti ini.”

“Oh, gak mungkin, Na.”

“Kenapa?”

“Karena Jodi belinya dari butik mamaku. Mamaku hanya membuat satu buah saja untuk setiap desain HP pouch yang dijual di butiknya.”

“Lho?! Dari mana kamu tahu kalau ini pemberian Jodi?”

“Jodi sendiri yang bilang padaku. Katanya itu untuk hadiah perpisahan kelas tiga. Itu sebelum aku tahu kalau sebenarnya kalian pacaran.”

Nana tergelak. Si pedagang asongan yang tadinya tidak peduli, sekarang malah memperhatikan Nana dan Rey. Nana sadar dirinya sedang diperhatikan. Buru-buru dia mengecilkan suara tawanya.

“Itu gak sepenuhnya benar, Rey. Aku gak bener-bener pacaran sama Jodi. Jujur aja, aku cuma memanfaatkan Jodi.”

“Masa sih?!” tanya Rey penasaran.

“Kamu ingat kan, kalau Jodi pintar dalam pelajaran fisika dan matematika. Sementara aku harus kerja keras untuk dapat nilai 6 pada dua pelajaran itu. Dan aku tahu dari teman-teman kalau Jodi menyukai aku. Jadi aku biarkan saja Jodi mendekatiku, sehingga aku bisa dapat guru privat gratis.”

Giliran Rey yang tertawa mendengar jawaban dari Nana. “Gak nyangka, Na. Ternyata kamu licik juga. Terus apa Jodi tahu kalau kamu memanfaatkan dia?”

“Entah. Mungkin dia tahu. Tapi cara seperti itu pun gak bisa berpengaruh banyak buat nilaiku. Aku hanya dapat nilai tujuh pada saat ujian akhir. Ya, mungkin memang aku gak berbakat untuk dua mata pelajaran itu. Dan saat dia memberiku hadiah ini, saat itu juga aku memutuskan hubungan yang kau sebut pacaran itu.”

“Hmm…, kok Jodi gak pernah cerita ya?!”

“Aku sempat menolak hadiah ini. Aku kembalikan padanya saat itu juga. Tapi besoknya Jodi datang ke rumahku dan memberikan benda ini. Dia bilang ini untuk kado perpisahan SMP. Hahaha… Aneh-aneh aja.”

“Aku gak tahu kalau kalian putus saat pengumuman kelulusan. Aku dan Jodi masih sempat satu kelas waktu SMA di Semarang. Lalu waktu naik ke kelas dua, dia pindah ke Pontianak, ikut orang tuanya. Dan jujur aja, Jodi gak pernah cerita soal putus. Dia malah cerita kalau hubungan kalian baik-baik aja. Dia bilang long distance itu ternyata cukup menantang.”

Nana bingung dengan penjelasan Rey. “Itu gak benar, Rey. Aku dan Jodi gak pernah melanjutkan hubungan itu. Aku dan dia putus saat pengumuman kelulusan SMP. Aku tahu, dia kecewa dengan tindakanku. Saat itu aku baru sadar, Jodi memang benar-benar menyukaiku. Tapi aku gak pernah benar-benar menyukai Jodi.” Nana diam sejenak dan berpikir. “Mungkin karena itu, Rey,” lanjut Nana, “Jodi akhirnya mengarang tentang hubungan long distance di antara kami. Padahal itu tidak benar.”

Mereka berdua terdiam.

“Ah sudahlah,” kata Rey. “Itu kan masa lalu. Kita juga gak bisa mengubah apa yang sudah terjadi saat itu. Cukup diingat saja, dijadikan pelajaran, dan gak perlu disesali.”

“Kamu benar,” balas Nana.

“Ngomong-ngomong, kamu gak pulang? Sudah hampir jam delapan, lho.”

“Iya. Tadinya aku udah mau nyetop taksi. Tapi tiba-tiba kamu muncul di depanku.”

Hujan sudah benar-benar berhenti. Nana bangkit dari bangku halte bus dan berdiri di tepi trotoar. Matanya sibuk mencari taksi di antara kendaraan yang lalu lalang.

“Oya, Na. Boleh aku minta nomor teleponmu? Siapa tahu nanti ada waktu luang, kita bisa ngobrol lagi.”

“Boleh.”

Nana dan Rey bertukar nomor ponsel. Lalu mereka berpisah. Nana menaiki taksi, sedangkan Rey menumpang bus kota.

(bersambung)

0 comments:

Post a Comment