Silvermoon Sparkling - Chapter Nine




Kisah sebelumnya di Chapter Eight.

Sang waktu memang tidak pernah mau kompromi dengan manusia. Apalagi ketika manusia di bumi memiliki kesenangan akan suatu hal, mereka tidak ingin sang waktu cepat berlalu. Bahkan, jika mereka bisa, mereka ingin menghentikan sang waktu kapanpun mereka mau. Agar mereka bisa terus menikmati kesenangan demi kesenangan itu. Tapi nyatanya, sang waktu tidak mau tugas-tugasnya direndahkan seperti itu oleh manusia. Sang waktu tetap menjalani takdirnya. Ia tidak pernah mengubah satuan hitungnya demi menyenangkan manusia.

Tidak terkecuali dengan Nana dan Rama, dua anak manusia yang sedang dimabuk cinta, yang mungkin bisa dikatakan cinta terlarang bagi sebagian orang. Mereka masih ingin menikmati kebersamaan ini, tanpa harus peduli pada orang lain.

“Keputusannya sudah keluar. Minggu kedua Februari, aku mulai kerja di Denpasar. Tanggal 31 Januari ini, adalah hari terakhirku bekerja di Jakarta,” kata Nana.

“Hmm, gak kerasa ya. Tau-tau udah akhir bulan Januari. Padahal aku berharap kita masih bisa bersama lebih lama lagi.”

“Rama,” ujar Nana sambil menatap pria yang ia cintai itu, “kita gak bisa terus seperti ini. Kita berdua harus kembali melihat kenyataan. Kamu harus memenuhi tanggung jawab kepada keluargamu. Apa kata orang-orang di sana ketika tahu bahwa kita bersama?”

“Aku tidak peduli, Na. Yang penting aku bisa bersamamu.”

“Itu egois namanya. Aku gak suka itu. Kamu memang pria yang aku cintai, aku sayangi, dan aku masih menginginkanmu untuk hari tuaku. Tapi aku tidak ingin pria itu menjadi egois karena diriku. Mungkin memang benar bahwa cinta tidak harus memiliki. Tadinya aku hanya tertawa mendengar kalimat itu. Tapi, setelah aku mengalami hal ini, aku baru mengerti arti kalimat itu.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan, Na? Aku gak mau menikah dengan orang yang tidak aku kenal. Aku cuma ingin dirimu.”

Nana membelai lembut wajah Rama. Ia mencium pria di hadapannya itu dengan tulus. “Menikahlah dengan gadis itu. Itu hal yang terbaik untuk kita berdua.”

“Gak, Na. Kamu pasti akan sakit. Aku udah pernah bilang. Kamu terlalu indah untuk bisa merasakan sakit ini.”

“Aku akan mencari obatnya.”

“Bagaimana kalau kamu gak bisa sembuh?”

Nana tersenyum. “Aku pasti sembuh.”

Malam semakin larut, dingin semakin menusuk tulang, dan kenyataan pahit mulai mengiris-iris hati. Namun, semua hal itu harus dihadapi dengan tegar. Nana yakin, jika ia membela keinginan pribadinya, pasti akan lebih banyak lagi jiwa yang terluka. Biarlah ia sendiri yang menjadi satu-satunya yang terluka di sini.

Awal Februari, Nana dan Rama berangkat menuju Denpasar. Mereka berdua sudah sepakat, setelah saat ini, mereka akan memulai lembaran baru kehidupan masing-masing. Tidak boleh ada yang menengok ke belakang. Kisah mereka, hanya mereka saja yang tahu.

Tanggal sudah ditetapkan, prosesi demi prosesi mulai dilaksanakan. Semakin dekat dengan puncak prosesi, hati Nana masih dan mungkin akan tetap sakit rasanya. Tapi Nana berusaha untuk kuat. Ada saatnya nanti, dirinya juga akan merasakan kebahagiaan itu.

Malam harinya, sebelum upacara pernikahan di gelar di pagi hari, Rama dan ayahnya berbicara empat mata di sebuah ruangan. Hanya ada mereka berdua.

“Apa kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?” tanya ayah Rama.

“Iya, Pa.”

“Betul?”

“Iya. Rama sudah yakin.”

“Bagaimana dengan Nana?”

“Emm, Nana…, dia baik-baik saja. Justru dia yang berperan besar dalam mengambil keputusan ini.”

“Rama. Papa tahu, ini berat buatmu, dan pasti berat juga buat Nana. Tapi ini bukan hanya demi masa depan keluarga besar kita. Ini lebih kepada masa depanmu dan Nana. Jika kalian memaksakan diri menikah, memang sih hal itu masih dibolehkan. Tapi yang Papa khawatirkan adalah keturunan kalian kelak. Lagipula, kalian berdua berbeda keyakinan. Itu lebih menyulitkan lagi nantinya.”

“Iya, Pa. Rama mengerti hal itu.”

“Syukurlah kalau kamu sudah mengerti.”

“Emm, Pa. Ijinkan aku bertemu Nana sekali lagi. Boleh?”

“Untuk apa?”

“Ada yang mau aku sampaikan padanya.”

Pria paruh baya itu tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan, lalu meninggalkan Rama sendirian di dalam ruangan itu.

Ada semburat kebahagian di wajah Rama. Ia bisa bertemu dengan Nana sekali lagi. Ini untuk pertama kalinya setelah perpisahan mereka di bandara Ngurah Rai.

Ketika itu, Rama langsung pulang ke rumah. Sedangkan Nana langsung menuju rumah kost yang sudah dipesankan oleh ibunya. Tidak ada kata-kata yang terucap kala itu. Hanya bahasa tubuh yang menandakan bahwa mereka belum merelakan sepenuhnya akhir kisah mereka.

Rama merogoh saku celananya dan mengambil ponsel. Lalu ia menghubungi Nana.

“Halo, Na.”

“Rama. Ada apa? Kok kamu bisa telepon aku?”

“Kenapa? Gak boleh ya?”

“Emm, gak apa-apa sih. Tapi kan besok pagi kamu mau menikah. Besok kan aku juga datang ke sana.”

“Tapi besok aku udah gak bisa bicara lagi denganmu, Na.”

“Rama…, bukan begitu maksudku.”

“Memang itu yang akan terjadi, Na. Aku yakin hal itu. Makanya, aku ingin bertemu denganmu malam ini.”

“Bertemu?”

“Aku akan ke tempatmu sekarang. Aku jemput kamu. Ibumu juga ingin bertemu denganmu.”

Nana belum menjawab permintaan Rama, namun sambungan telepon sudah terputus.

Rama keluar ruangan mencari ibu Nana. Ia mendapati wanita itu sedang membantu berbenah di dapur.

“Tante, bisa bicara sebentar.”

“Ada apa, Ram?”

“Aku minta alamat kost Nana. Aku mau jemput dia.”

Ibu Nana tidak langsung menjawab. Ia menarik lengan Rama dan mengajaknya ke sudut ruangan. Nampaknya ia tidak ingin pembicaraan ini didengar oleh orang lain.

“Tante tahu apa yang sudah terjadi pada kalian berdua. Hanya saja, Tante tidak mau memberitahukan kepada orang lain di keluarga ini.”

“Maafkan kami, Tante. Kami memang salah. Seharusnya kami tidak begitu.”

“Sudahlah. Itu sudah berlalu. Tataplah yang ada di hadapanmu sekarang.”

“Iya, Tante. Tapi, apa aku masih bisa bertemu dengan Nana?”

“Tempat kost-nya di jalan Anggrek no. 20 C. Kamar nomer lima.”

“Terima kasih, Tante.”

Rama langsung menuju garasi rumahnya, menyalakan mesin sepeda motornya dan langsung meluncur di jalan raya.

Rama dapat dengan mudahnya menemukan tempat tinggal Nana. Ia memarkir motornya di pelataran depan dan mendatangi kamar nomer lima. Ia mengetuk pintu kamar. Sejenak kemudian pintu terbuka dan terlihat seorang gadis ayu berambut panjang yang menjadi belahan jiwanya.Rama langsung menyerbu masuk dan memeluk gadis itu dengan erat.

“Aku rindu kamu, Na.”

“Aku juga.”

I know that it might sound more than a little crazy, Na. Tapi, apa bisa kita lari dari keadaan ini dan kembali hidup bersama?”

“Itu mustahil, Ram. Dan kamu tahu hal itu.”

“Aku mungkin tidak bisa hidup tanpamu.”

Sure, you do. Aku akan selalu mendoakan kalian berdua.”

“Kamu mau ikut aku ke rumah sekarang?”

“Sepertinya gak bisa, Ram. Gak etis rasanya. Apalagi di sana ada ajik. Beliau pasti marah besar jika melihatmu bersama denganku.”

“Kamu adalah cintaku, sahabat baikku, teman paling yang mengerti diriku. Aku ingin kau bahagia, Na.”

“Pergilah, Ram. Mereka pasti mencarimu. Kalau kamu memang benar mencintaiku, pergilah sekarang juga. Esok, kau masih bisa bertemu denganku.”

Rama mencium Nana – mungkin — untuk yang terakhir kali. “Jaga dirimu baik-baik, Na. Aku tidak ingin kamu terluka lagi.”

Nana tersenyum. “Pergilah, Ram. Jangan sampai terlambat untuk acaramu sendiri besok pagi.”

Pukul sepuluh pagi, Nana sudah berada di rumah neneknya. Orang-orang sibuk berlalu lalang mempersiapkan segala sesuatu. Upacara pernikahan akan dilaksanakan tiga puluh menit lagi.

Para kerabat dan tamu undangan sebagian besar telah hadir. Bahkan pedanda pun sudah tiba beberapa menit yang lalu.

Nana memilih tempat duduk di sebelah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh tahun. Anak itu datang dengan ayah dan ibunya. Nana mengenali orang tua anak itu sebagai salah satu saudara jauh dari ibunya. Ia tersenyum kepada ibu dari anak itu dan wanita itu pun membalas senyuman Nana dengan ramah.

Tak lama kemudian, kedua mempelai memasuki tempat upacara. Tatapan mata Nana langsung tertuju pada gadis yang berjalan di samping Rama. Gadis itu cantik sekali dengan pakaian adatnya. Sesungguhnya Rama patut berbahagia. Ajik pasti tidak akan sembarangan dalam memilih calon istri untuk Rama.

Nana baru tahu nama gadis itu dari kartu undangan yang dipegang anak laki-laki di sebelahnya. Namanya I Gusti Ayu Mahakharisma Putri. Nama yang indah, pikir Nana. Nama gadis itu sangat cocok bersanding dengan nama I Gusti Ngurah Rama Swardhana.

Nana kembali melihat ke arah kedua mempelai. Mereka sudah duduk bersanding dan upacara akan segera dimulai. Mata Nana langsung bertemu dengan tatapan mata Rama dari kejauhan. Lama sekali mereka saling berpandangan. Seolah ingin menceritakan semua keluh kesah lewat mata hati mereka.

Nana mengangguk pelan. Ia tahu, Rama akan mengerti maksud anggukan kepalanya. Dan, betul saja, Rama balas tersenyum ke arah Nana.

Anak laki-laki di sebelah Nana menggoyang-goyang lengan Nana. Nana langsung menoleh ke arah anak itu.

“Tante, Tante…. Om itu tadi ngeliatin Tante ya? Om itu temennya Tante ya?”

Nana tersenyum menengar kepolosan dari pertanyaan anak itu. Nana mengangguk dan menjawab, “Iya. Om itu temen Tante yang paling baik.”

Upacara pun dimulai. Pedanda (dibaca pedande, pemuka agama Hindu) mulai membacakan doa-doa untuk kedua mempelai.

Bulir-bulir air berkumpul di ujung mata Nana. Nana hanya membiarkannya. Ia mengijinkan tetesan itu jatuh di wajahnya. Namun hanya satu tetesan. Karena tetesan-tetesan berikutnya malah akan menambah rasa sakit yang teramat parah di hatinya.

Nana tersadar dari lamunannya karena ponselnya bergetar. Ada telepon masuk. Nana bangkit dari duduknya dan mencari tempat yang agak sepi untuk menjawab telepon tersebut.

“Halo,” sapa Nana kepada si penelepon.

“Halo, Na. Apa kabarmu? Kok udah gak pernah keliatan lagi di halte? Kamu pindah kerja ya? Sekarang di mana? Aku kangen, Na, pengen ngobrol berdua lagi sama kamu. Ketemuan yuk.”

Nana tersenyum simpul mendengar rentetan pertanyaan dari si penelepon. Namun, Nana tidak menjawab seluruh pertanyaan itu. Ia malah berbalik mengajukan pertanyaan.

“Ya, Rey. Aku baik-baik saja. Apa kamu punya waktu luang untuk terbang ke Denpasar hari ini? Aku tunggu.”


t a m a t

0 comments:

Post a Comment