If Happy Ever After Did Exist...



Kau datang lagi. Berdiri di depan pintu rumahku dengan wajah tampanmu yang selalu terlihat menyebalkan. Dan lebih menyebalkan lagi, aku menyukai wajah itu. Kau tersenyum, tapi tanpa bicara. Buatku, senyuman itu berarti banyak hal. Hanya saja, aku tak tahu pasti yang mana yang sedang kau tunjukkan saat ini. Kau, pria dengan sejuta ekspresi wajah. Aku benci itu.

Mungkin seharusnya aku langsung menghambur ke dalam pelukanmu, menikmati rasa mint dari bibirmu, dan membiarkan aroma aftershave itu menerobos masuk lubang hidungku. Tapi itu tidak terjadi. Yang ada saat ini, aku hanya memandang dirimu dengan pertanyaan besar, mengapa. Dan kau, Aaron, lagi-lagi aku tidak bisa membaca ekspresi wajahmu. Apakah kau sedang menunjukkan rasa rindu yang begitu besar kepadaku? Ataukah kau hanya ingin memastikan apakah aku merindukanmu dengan benar? Atau yang terakhir - yang paling aku benci dan tak kuharapkan terjadi - kau ingin memberitahu aku bahwa kau baik-baik saja tanpaku. Ah, itu menyakitkan, Aaron.

Hallo, SerenaLong time no see, huh?!” katamu dengan nada cuek yang menjengkelkan.

Where have you been?” tanyaku dengan malas.

Going somewhere.”

“Aku senang kau masih ingat jalan ke rumahku.” Kali ini aku ingin membuktikan padanya bahwa akulah yang baik-baik saja tanpa diriya.

Yeah…. I want to see you. Boleh aku masuk? Kita perlu bicara.”

“Bicara saja di sini,” sahutku dengan tegas.

Aaron nampak bingung dengan perubahan sikapku. Itu terlihat jelas di wajahnya. Dan itulah untuk pertama kalinya aku melihat sebuah ekspresi utuh di wajahnya.

We really need to talk,” katanya dengan lembut, namun terkesan ada nada kemarahan di sana.

“Aaron…. Banyak yang terjadi ketika kau pergi.” Mungkin memang aku harus menjelaskan padanya. “Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikan waktu kita yang terbuang percuma. Seharusnya kau memikirkan hal itu sebelumnya. Aku tidak sanggup jika terus kau permainkan seperti itu. Aku wanita, aku punya hati, dan itu bukan untuk dipermainkan dengan mudahnya, like you did to me.”

Aku berhenti bicara sejenak dan berusaha mengontrol liang-liang di mataku agar tidak menumpahkan isinya. Aku ingin Aaron mengerti, aku bukan wanita yang seperti dia pikirkan.

“Pergilah,” kataku lagi. “Kau layak mendapatkan yang lebih dariku.”

Aku menutup pintu. Aku masih berdiri di situ sampai Aaron pergi. Dan sekarang, aku benar-benar menangis, menangisi sebuah kejadian yang tidak seharusnya tidak perlu terjadi.

If happy ever after did exist, I would still be holding you, Aaron. Like I always did.

0 comments:

Post a Comment