Silvermoon Sparkling - Chapter Three




Kisah sebelumnya di Chapter Two

Pagi hari, pukul enam, Nana sudah hendak meninggalkan rumah untuk pergi ke kantor. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Tapi kemudian ia keluarkan lagi. Ia ingat tadi malam ada yang menelepon. Ternyata itu Rey.

Nana masih menggenggam ponselnya. Ia memeriksa jendela-jendela dan pintu belakang. Setelah mengetahui semuanya telah terkunci rapat, ia keluar lewat pintu depan dan menguncinya. Ia memasukkan kunci rumah dan ponselnya ke dalam tasnya.

Dalam perjalanan dengan bus kota, ia mencoba menelepon Rey.

“Halo, Rey. Ini Nana.”

“Halo, Na.” jawab Rey dengan suara samar.

Nana sedikit heran dengan nada bicara Rey. “Kamu baru bangun tidur, Rey?”

“Iya. Aku baru tidur jam tiga pagi.” Sekarang suara Rey sudah mulai normal.

“Lho, ngapain aja?”

“Aku lagi nyicil ngerjain layout buat terbitan senin nanti.”

“Oh gitu. Oya, tadi malem ada apa kamu telepon? Maaf banget, aku udah tidur waktu itu.”

“Umm…, gak ada apa-apa sih. Tadinya aku pengen ngajak ketemuan lagi. Itu kalau kamu gak sibuk.”

“Bisa aja. Hari sabtu, gimana?”

“Jangan sabtu, deh. Deadline kerjaanku tiap sabtu sampai jam 12 malam. Soalnya lewat tengah malam, majalahnya langsung naik cetak. Hari minggu, jadwalku baru bisa longgar. Gimana?”

“Oke, gak apa-apa. Jadi hari minggu siang jam sebelas, di Kafe 88 daerah Kemang. Bisa kan?!”

“Sip. Nanti aku telepon lagi ya. Makasih, Na, udah bangunin aku pagi ini.”

“Ah kamu, bisa aja. Bye, Rey.”

“Bye,” jawab Rey.

Setengah jam kemudian, Nana sudah sampai di kantornya.

Nana menyalakan komputer dan memeriksa berkas-berkas yang akan ia kerjakan hari ini. Pandangannya beralih ke layar komputer dan tangan kanannya lincah memainkan mouse untuk mencari dokumen yang ia maksud.

Nana melihat Yogi, teman sekantornya, keluar dari ruangan Pak Darwis. Pak Darwis adalah paman Nana.

Yogi mendekati meja kerja Nana.

“Na, kamu dipanggil Pak Darwis.”

“Hah?! Ada apaan, Gi?”

“Aku gak tau. Dia gak bilang. Aku cuma disuruh manggil kamu.”

“Lha, tadi kamu abis ngapain di ruangan Pak Darwis?”

“Aku cuma ngasi berkas yang dia minta.”

Nana tidak bertanya lagi pada Yogi. Ia segera menuju ruangan Pak Darwis. Nana mengetuk pintu ruangan itu. Terdengar suara Pak Darwis menyuruhnya masuk. Nana membuka pintu dan melihat pamannya duduk di kursi besar di balik meja kerja.

“Ada apa, Pak?” tanya Nana.

Walaupun Pak Darwis adalah paman Nana, tapi Nana tetap menganggap beliau sebagai seorang atasan yang harus dihormati.

“Duduk dulu, Na. Santai saja. Kita akan ngobrol sebagai keluarga, bukan sebagai atasan dan anak buah.”

Nana agak terkejut dengan permintaan pamannya. Tidak biasanya beliau begitu. Nana menurut saja. Ia lalu duduk di sofa yang ada di sudut ruangan. Pamannya bangkit dari kursi kerja dan menemani Nana duduk di sofa.

“Emm…, ada apa ya, Om?”

“Nana. Kamu betah kerja di sini?” tanya pak Darwis tiba-tiba.

“Iya, Om. Saya betah di sini.” Nana menjawab dengan gugup dan setengah berbohong. Kira-kira apa yang akan dibicarakan pada obrolan kali ini, pikir Nana.

“Ah, gak perlu basa-basi. Ngomong aja terus terang sama Om. Kamu betah kerja di sini?”
“Maaf, Om. Saya belum paham arah pembicaraan kita.”

Pak Darwis menghela napas panjang.

“Nana. Aku mengerti kondisimu. Sebagai pamanmu, bukannya aku tidak pernah memperhatikan dirimu. Aku tahu, kamu merasa berhutang karena aku telah membiayai kuliahmu dan menampung kamu dan ibumu sepeninggal ayahmu. Dan aku juga paham, kalau kamu setengah terpaksa ketika aku memintamu bekerja di kantor ini. Jadi, Nana. Om tanya sekali lagi. Apa kamu betah kerja di sini?”

“Umm…. Sebenarnya saya ingin kembali ke Denpasar. Saya ingin mencari kerja di sana, supaya dekat dengan ibu.” Nana mengungkapkan isi hatinya dengan hati-hati. Ia takut menyinggung perasaan pamannya. Ia pasrah saja bila nanti pamannya akan naik pitam mendengar jawaban Nana.

“Hahaha, baguslah kalau begitu. Kebetulan sekali.”

Nana kaget melihar reaksi pamannya. Ia menduga pamannya akan marah. Tapi ternyata, pamannya malah menyebut itu sebagai kebetulan.

“Maaf lagi, Om. Om gak marah?” tanya Nana keheranan.

“Marah? Buat apa marah? Ini justru kebetulan. Ada lowongan pekerjaan di sana yang sesuai untuk bidangmu.”

“Pekerjaan apa, Om?”

“Ya tentu saja perencana bangunan. Itu kan bidangmu.”

“Iya, Om. Nama perusahaannya apa ya, Om?”

“PT. Satya Aditama. Milik teman kuliah Om dulu. Pak Putu Astana, teman Om itu, pernah bilang kalau dia butuh orang untuk perencana bangunan. Dia sudah buka lowongan di sana. Sudah banyak yang melamar, tapi dia belum menemukan yang cocok. Perencana yang dia punya, sekarang usianya sudah tidak muda lagi. Pak Putu bilang, dia butuh penyegaran untuk perusahaannya. Dia butuh regenerasi untuk bagian perencanaan.”

“Tapi, Om, gimana dengan pekerjaan saya di sini? Kan masih ada beberapa tanggung jawab yang mesti diselesaikan.”

“Oh, gak masalah. Om bisa melimpahkan itu kepada orang lain. Masih ada Yogi, Anggit, dan Huda. Mereka memang belum lama bekerja di sini. Tapi aku yakin, kemampuan mereka bisa diandalkan.”

“Kapan saya bisa berangkat ke sana?”

“Paling cepat dua minggu lagi. Nanti Om kabari lagi kalau semua urusannya sudah selesai.”

“Baik, Om. Saya tunggu kabarnya. Hmm…, ada lagi yang perlu dibicarakan?”

“Emm, tolong panggilkan Yogi, Anggit, dan Huda kemari. Terima kasih.”

“Baik, Om. Saya permisi,” ujar Nana.

Pak Darwis mengangguk dan bangkit dari sofa menuju meja kerjanya.

Nana meninggalkan ruangan Pak Darwis. Lalu ia menyampaikan pesan Pak Darwis pada Yogi, Anggit, dan Huda.

Nana kembali ke balik meja kerjanya. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk ibunya. Bu, nanti mlm aku tlp. Ada kabar baik. Pesan terkirim dan beberapa menit kemudian balasan datang.

Kabar baik apa, Na? Waduh, kamu bikin ibu penasaran. Ya, ibu tggu nanti mlm. Begitu balasan dari ibu Nana.

Nana tersenyum sendiri. Keinginan untuk kembali ke kota kelahirannya akan segera terwujud. Sudah seperti apa rupa kota itu, tanya Nana dalam hatinya. Ia rindu neneknya yang dulu sering mendongeng untuknya. Rindu suasana tenang di saat hari raya nyepi. Rindu ramainya ketika hari raya galungan tiba. Rindu dengan pantai dan deburan ombaknya. Dan tentu saja, Nana rindu saat purnama di sana.

Nampaknya Nana harus lebih bersabar. Dua minggu bukan waktu yang singkat untuk menunggu. Ia harus menyibukkan diri agar otaknya tidak terbebani pikiran pada kota itu.
Malam harinya, Nana menepati janji untuk menghubungi ibunya.

“Halo.” Terdengar suara ibunya di ujung telepon.

“Bu, aku pindah kerja ke Denpasar,” kata Nana dengan setengah berteriak.

“Eh, kok gak pake salam. Malah teriak-teriak gitu. Gak pantes ah, Na.”

“Oh iya, Bu. Hehehe…. Assalammualaikum. Gimana kabar ibu dan keluarga di sana?”

“Nah, gitu. Wa’alaikumsalam. Semuanya baik di sini. Niyang juga udah mendingan, gak sesak napas lagi. Oya, tadi kamu bilang apa? Mau pindah kerja?”

“Iya, Bu,” jawab Nana bersemangat.

“Pindah ke mana?”

“Ke Denpasar.”

“Denpasar? Yang bener, Na?”

“Insya Allah, bener, Bu. Doakan semoga urusannya cepet beres. Om Darwis lagi lobby sama pemilik perusahaan di sana. Katanya, dia teman kuliah Om Darwis waktu di ITB.”

“Wah, baguslah kalau benar begitu. Ibu doakan semoga lancar. Kapan kamu pindah?”

“Om Darwis bilang, paling cepat dua minggu lagi.”

“Oh, ya gak apa-apa. Nanti kamu mau tinggal di mana?”

“Belum tau, Bu. Aku belum tahu kantornya di daerah mana? Mungkin nanti aku cari tempat kost yang dekat kantor aja. Dan mungkin nanti juga aku butuh motor di sana. Bisa tolong carikan yang bekas saja, Bu. Nanti uangnya aku transfer kalau ibu sudah dapat barangnya.”

“Ya, nanti ibu bicarakan sama ajikmu. Dia yang lebih ngerti soal itu.”

“Oya, Bli Rama kapan nyampe Denpasar?”

“Dia bilang sih, pesawatnya landing jam delapan malem di Ngurah Rai. Ya, mungkin jam sembilanan baru sampe rumah.”

“Kalau Bli Rama udah dateng, tolong kasih nomer handphone-ku ke dia ya. Suruh dia telepon aku.”

“Ah, kamu ada-ada aja. Dia kan orang sibuk, mana mau dia telepon kamu.”

“Ayo dong, Bu. Kasih aja nomerku. Entah dia telepon ato enggak, itu kan perkara lain.”

“Iya, iya. Nanti ibu kasih nomermu ke Rama. Emang kenapa sih? Kok kamu ngotot gitu. Jangan-jangan kamu ada apa-apa sama Rama ya?! Eh, gak boleh lho. Kalian kan masih sodara.”

“Hahaha…. Ibu ngaco deh,” Nana tergelak mendengar perkataan ibunya. “Ada apa-apa gimana maksud ibu? Ya emang gak ada apa-apa, Bu. Nana cuma kangen aja sama Bli Rama. Kan udah bertahun-tahun gak ketemu dia.”

“Awas, lho. Jangan bohong.”

“Udah ah, Bu. Kok malah jadi ngomongin aku sama Rama. Aku masih harus kerja besok. Salam buat niyang. Assalammualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Nana heran sendiri. Mengapa ibunya sempat berpikiran macam-macam tentang dirinya dan Rama.

(bersambung)

Chapter Four

0 comments:

Post a Comment