Bli, Geg Rindu...



Pagi ini tidak seperti biasanya. Aku bangun lebih awal. Jarum jam masih menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Di luar masih gelap dan hawa dingin belumlah luntur dari ruang tidurku.

Aku beranjak dari ranjang menuju lemari pakaian. Aku mengambil kebaya putihku dan kamen bermotif bunga. Aku letakkan keduanya di atas ranjangku, lalu aku pergi mandi.
 
Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2011 dan aku berencana untuk sembahyang di pura desa. Sudah menjadi kebiasaanku di setiap akhir tahun untuk pergi ke pura desa. Memanjatkan doa untuk segala kelancaran menjalankan rencana-rencanaku di tahun depan. Dan aku pun bersyukur atas apa yang aku dapat sampai detik ini.
 
Aku turun dari kamarku di lantai dua dan menuju ruang tengah. Di sana, ibu sedang sibuk menata banten.

“Mayra….”

“Iya, Bu.”

“Ini yang di nampan biru untuk mebanten di rumah dan yang di nampan merah untuk kau bawa ke pura nanti.”

“Baiklah. Ibu ikut ke pura desa juga, kan?!”

“Tidak. Baru saja ibu dapat telepon dari rekan kantor. Ibu diminta datang ke kantor. Ada sembahyang bersama di sana. Kau pergi ke pura sendirian saja ya?!”
 
“Oh, begitu. Ya sudah, tidak apa-apa, Bu. Mayra bisa pergi sendiri.”
 
“Ng…, Mayra….”
 
“Ya…?!”
 
“Semalam ibu bermimpi Gung Adi datang kemari.”
 
“Oya?!”
 
“Kau masih belum bicara juga dengan Gung Adi?”
 
“Belum, Bu,” jawabku sambil menunduk.
 
“Sebenarnya apa masalah kalian? Sampai sekarang Ibu masih belum paham. Ibu sebenarnya malu pada Pak Agung dan Ibu Jero.”
 
“Sudahlah, Bu. Ibu tidak perlu ikut repot memikirkan hal itu. Biar kami berdua yang menanggung bebannya.”
Ibu menatapku dengan penuh rasa iba. Aku tahu, ibu benar-benar cemas soal hubunganku dengan Gung Adi.
 
“Baiklah. Ibu pergi dulu. Jangan lupa kau periksa semua pintu ketika akan pergi.”
 
“Iya, Bu.”
 
Aku segera menuntaskan tugasku mebanten di padmasana rumahku. Lalu aku berjalan kaki sambil membawa nampan berisi canang ke pura desa. Tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit waktu tempuhnya.
Sesampainya di pura, aku segera menyalakan dupa dan duduk bersimpuh di hadapan merajan.
 
Tahun ini aku punya permintaan khusus kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ini ada hubungannya dengan Gung Adi, pria yang telah mengisi hari-hariku sejak beberapa bulan terakhir.
 
Sudah beberapa hari ini, Gung Adi tidak mau bicara padaku. Entah mengapa, ia bahkan tidak mau memberikan alasannya padaku. Dia seperti menghilang begitu saja dari jangkauanku. Satu hal terakhir yang ia katakan padaku adalah tentang sebuah kekecewaan yang mendalam yang ia rasakan.
 
Seandainya saja siang itu aku dan dia bisa bicara dengan kepala dingin, aku yakin akhirnya tidak akan seperti ini. Jujur kuakui, akupun emosi saat itu. Dia sudah salah paham. Dan bodohnya aku, tidak bisa menjelaskan semuanya dengan benar karena amarah sudah menguasaiku sejak awal.
 
Menyesal…. Mungkin itulah yang benar-benar aku rasakan saat ini. Dan di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kukatakan satu permintaanku, ingin segalanya kembali seperti semula. Aku… dan dia…, kembali merajut apa yang sudah dimulai. Aku ingin segalanya menjadi indah dan manis.
 
Tak terasa, air mataku meleleh, bersamaan dengan turunnya gerimis dari langit Bali. Mungkin langit ikut merasakan kesedihanku. Ingin sekali aku memberanikan diri untuk berteriak memanggil namanya. Aku tidak peduli apakah dia mendengarku atau tidak. Tapi nyatanya, itu tidak pernah kulakukan. Aku hanya sanggup berkata lirih dalam hatiku, “Bli, Geg rindu…”.



artikel dapat dilihat di sini

0 comments:

Post a Comment