Rinai hujan minggu kedua Desember masih saja
memberikan pemandangan sendu untuk mata Asha. Tapi, ia menikmatinya. Sangat
menikmatinya. Ia membuka salah satu daun jendela kamarnya agar ia leluasa
menikmati rinai itu. Liang telinganya dibiarkan menerima alunan nada yang
mengalir dari pengeras suara laptopnya.
Matanya kadang terpejam, menghayati lirik lagu. Kadang terbuka lebar, kala
rinai menderas. Kelopaknya terbuka lebar, seolah pandangannya ingin menembus
lebatnya rinai yang datang tanpa diminta. Asha sangat berharap, rinai kali ini
membawakan sesuatu…, seseorang untuknya.
Ponsel Asha bergetar. Dengan malas, ia bergerak dari
tepi jendela menuju meja kecil di samping lemari. Rupanya ada pesan singkat
dari Milly.
‘Apa sudah ada
kabar dari Ronald? Kemarin aku mendengar kabar dari seorang teman Ronald, katanya
ia akan kembali ke kota ini minggu depan.’
Asha menghela napas panjang, sekaligus menghalau
bulir bening yang hendak keluar dari liangnya. Dengan segera ia membalas pesan
singkat dari Milly.
‘Belum. Dan,
lebih baik kau jangan mempercayai kabar apa pun tentang Ronald, dari siapa pun.’
Setelah pesan terkirim, Asha mematikan ponselnya.
Kali ini ia memasukkan benda mungil itu ke dalam laci meja. Ia berjalan ke tepi
jendela, duduk di kursi, dan kembali bercengkerama dengan hujan. Sekarang
rinainya melemah, membuat Asha bisa melihat rimbun Bougainville di halaman.
Pandangan Asha mengabur, tertutup air mata. Lalu,
kelopak matanya menutup dan itu membuat bulir bening keluar dari liangnya. Saat
terpenjam itu, Asha selalu membayangkan sesosok pria. Selalu sosok yang sama
selama bertahun-tahun. Hampir empat tahun tepatnya. Dan, Asha tak pernah lupa siapa
sosok itu. Ronald.
***
Asha duduk di hamparan padang rumput. Beberapa batang
rumput itu menjulang setinggi lutut dan ujungnya berupa kumpulan kelopak kuning
cerah. Ada dua, tiga kupu-kupu hinggap bergantian. Tepat di sebelah Asha,
batang rumput yang menjulang berujung kumpulan kelopak warna kuning pucat. Agak
berbeda dengan kumpulannya yang lain. Ingin sekali Asha memetik bunga itu.
Hanya saja, keinginannya tidak sebesar niatnya yang sedang menunggu sesuatu…,
seseorang.
“Jika aku terlambat lima menit, mungkin kau sudah
memetik bunga itu, Asha.”
Sebuah suara berat tiba-tiba muncul di dekat telinga
Asha. Asha tersenyum. Ia memang belum melihat siapa yang datang, tapi ia tahu
siapa pemilik suara berat itu.
“Dan, jika kau terlambat sepuluh menit, apa yang akan
terjadi pada bunga itu?” tanya Asha tanpa memalingkan wajahnya. Pandangannya
masih tertuju pada bunga kuning pucat itu.
“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat
itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’
dan ‘tidak’ bergantian,” jawab si
suara berat.
Asha tersenyum lagi. Kali ini ia memberanikan diri
untuk memalingkan wajahnya, melihat apakah tebakannya benar. Ternyata memang
benar. “Lalu, bagaimana jika kau terlambat lima belas menit, dua puluh menit,
dan tiga puluh menit?” tanyanya. “Katakan padaku, Ronald.”
Ronald mengerutkan dahinya, bibir bawahnya ia gigit,
mungkin ingin memperlihatkan pada Asha kalau ia sedang berpikir keras. Lalu, ia
mencabut satu batang rumput dan mempermainkan benda itu di tangannya. Beberapa
detik saja, lalu dibuangnya. Berganti menengadahkan kepalanya, menatap langit
yang kala itu sangat cerah. Sambil memicingkan mata, ia mengamati satu persatu
gumpalan awan yang bertengger di langit. Semua yang Ronald lakukan membuat Asha
bosan menunggu.
“Ayolah,” ujar Asha sambil mencubit lengan Ronald,
“jawab saja.”
Ronald tertawa. Ia senang membuat Asha kesal.
“Kau selalu begitu,” ujar Asha lagi.
Ronald menghentikan tawanya dan mendekap tubuh Asha.
“Tidak akan terjadi apa-apa, Asha,” jawabnya, “karena aku tidak akan terlambat
untukmu. Aku selalu menepati janjiku. Apa kau masih ingat, kapan aku pernah
terlambat datang menemuimu?”
“Ehm….”
“Tidak pernah, kan?!” potong Ronald.
Asha tersenyum lagi. Kali ini, ia makin membenamkan
diri ke dalam pelukan Ronald. “Berjanjilah kau akan tetap seperti ini, Ronald,
selalu hadir untukku. Berjanjilah kau akan selalu menepati janjimu. Janji apa pun
itu.”
Terdengar hela napas berat Ronald, hampir bersamaan
dengan bunyi Humming Bird yang
kebetulan mampir ke salah satu bunga kuning di sekitar keduanya. Sungguh pagi
yang indah.
“Aku berjanji, Asha. Aku… berjanji.”
*
Petang itu rasanya matahari berangkat ke peraduan
terlalu dini. Atau, memang gumpalan awan di langit terlalu tebal dan berwarna
abu-abu pekat, sehingga menghalangi sinar matahari. Asha tidak peduli. Ia
mempercepat langkahnya ke taman kota. Ronald sudah menunggunya di sana.
Dari jarak dua puluh meter, Asha melihat Ronald duduk
dengan gelisah di sebuah bangku taman. Asha menghentikan langkahnya. Ronald tidak seperti Ronald hari ini,
ucapnya dalam hati. Asha merasa ada sesuatu yang ganjil. Seolah dapat meramal
masa depan, Asha takut apa yang ada di pikirannya benar-benar terjadi. Jangan! Itu tidak boleh terjadi!
Asha berjalan lagi. Langkahnya lebih hati-hati
sekarang. Jika bisa, ia ingin lari saja dari tempat itu dan urung bertemu
Ronald. Tapi, Ronald sudah melihatnya datang. Asha tidak jadi pergi. Ia tetap
melangkah, mendekati Ronald dengan senyum yang baru saja ia pasang di bibirnya.
“Biasanya hari Rabu seperti ini kau tidak bisa keluar
rumah, Ronald.” Asha memulai basa-basi untuk menghilangkan kecemasannya. “Ada
perlu apa memanggilku kemari?” tanyanya.
“Ada sesuatu….”
“Duduklah dulu,” potong Asha. Lagi, ia mencari cara
untuk membuat dirinya sedikit lebih tenang.
Ronald menuruti pinta Asha. Ia duduk, tapi raut
wajahnya menegang. Ada satu, dua bulir peluh di pelipisnya. “Aku harus
menyampaikan ini padamu, Asha.”
Dahi Asha berkerut. “Menyampaikan apa?”
“Aku… harus pergi.”
Asha tertawa. “Jadi, hanya itu? Kau, kan, bisa
meneleponku. Seperti biasanya. Tidak perlu kau berpura-pura, seakan-akan kau
tidak tahu kapan harus kembali ke kota ini. Iya, kan?!” Ada nada tidak yakin
pada kalimat terakhir Asha. Rasanya, ia seperti baru saja menebak apa yang
hendak dikatakan Ronald.
“Tapi…, aku memang benar akan pergi, Asha. Pergi
cukup lama.”
Air muka Ronald begitu serius. Hampir tidak mungkin
tercipta senyum di saat seperti ini.
“Benarkah?!” tanya Asha dengan lirihnya.
Ronald mengangguk. Pelan, tapi terlihat mantap.
“Mungkin beberapa bulan.”
Sekarang, air muka Asha yang berubah. Kesedihan
segera saja menggelayut manja pada paras ayu Asha. “Ke mana?”
“Aku tidak akan mengatakannya padamu.”
“Kenapa? Aku tidak berhak tahu?”
“Aku takut… kau akan mencariku.”
Asha mendengus pelan. “Memangnya apa yang akan kau
lakukan di luar sana, sampai kau yakin kalau aku akan mencarimu?”
Ronald tidak menjawab. Ia malah menunduk, menekuni lantai
batu yang ia pijak. Sejenak, beberapa jenak, Ronald masih diam. Langit mulai
menghitam, namun masih menyisakan sedikit jingga di sebelah barat.
“Baiklah.” Asha berdiri. Dalam hati, ia merasa hebat
karena tidak sampai menumpahkan air mata untuk momen sesakit ini. “Kali ini aku
tidak memintamu berjanji. Kembalilah jika memang kau ingin kembali. Dan…, jika
memang kau tidak ingin…, jangan kembali.”
Ronald masih menunduk, bahkan ketika Asha mulai
menjauh dari bangku taman. Seolah baru tersadar dari tidur lama yang
melelahkan, Ronald memalingkan wajah dan melihat punggung Asha yang menjauh.
Seketika itu ia berdiri, lalu berteriak, “Tunggulah, Asha! Aku akan kembali
untukmu. Tunggu saja! Hanya beberapa bulan.”
Asha mendengarnya, dan ia tetap melangkah.
“Sudah kubilang, Ronald. Jangan berjanji kali ini.
Jangan berjanji,” gumam Asha dalam isaknya.
***
“Bodohnya aku,” gumam Asha. “Seharusnya aku memaksamu
bicara saat itu. Aku yakin, kau akan memberitahu kemana kau pergi, Ronald.”
Mata Asha terbuka. Pandangannya langsung tertuju pada
rimbun Bougainville di halaman.
Sekarang rinai hujan tak lagi mengganggu helai-helai daun di rerimbunan itu.
Dan, sekilas Asha melihat ada lengkung warna-warni di langit timur. Asha
tersenyum. Dalam hatinya, ia masih sangat berharap Ronald datang padanya.
Namun, harapan itu segera ia tumpuk dengan kenyataan, bahwa Ronald tidak
mungkin kembali. Ini bukan lagi ‘beberapa
bulan’ seperti yang ia pernah dengar. Ini sudah beberapa tahun. Hampir
empat tahun, tepatnya.
Asha bangkit dari duduknya. Ia menuju meja dan
membuka salah satu lacinya. Ia mengambil ponsel, lalu menghidupkan kembali
benda mungil itu. Ia hendak menelepon ibunya. Namun, ketika ia sedang mencari
nomor telepon ibunya, ada pesan singkat masuk. Asha urung menelepon dan membuka
pesan tersebut. Pesan itu dikirim oleh nomor asing.
‘Datanglah… ke
tempat terakhir kita bertemu. Aku menunggumu. Sekarang juga.’
Mendadak, Asha sulit bernapas. Perasaannya terlalu
penuh dengan kejutan.
nice :)
ReplyDeletethanx, mbak retno :)
Delete