Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Asa Asha

Rinai hujan minggu kedua Desember masih saja memberikan pemandangan sendu untuk mata Asha. Tapi, ia menikmatinya. Sangat menikmatinya. Ia membuka salah satu daun jendela kamarnya agar ia leluasa menikmati rinai itu. Liang telinganya dibiarkan menerima alunan nada yang mengalir dari pengeras suara laptopnya. Matanya kadang terpejam, menghayati lirik lagu. Kadang terbuka lebar, kala rinai menderas. Kelopaknya terbuka lebar, seolah pandangannya...

Carousel

Aku kembali lagi ke tempat ini. Sebentar, kuhitung dulu. Satu, dua, tiga, empat…. Ya, lima tahun. Lima tahun lamanya aku baru melihat lagi tempat ini. Tidak ada yang istimewa. Hanya sebuah danau kecil di tepian kota, yang aku nikmati dari tempat duduk favoritku, sebuah tonjolan akar pohon yang cukup besar. Tidak banyak juga yang berubah dari tempat ini, kecuali menjadi lebih sepi. Entah mengapa. Mungkin karena manusia-manusia itu lebih memilih...

Menunggu Kereta

Bangunan hijau itu sudah di depan mataku. Aku berhenti sejenak untuk melihat wujud raksasa tempat singgahnya para kuda besi. Ada sesuatu yang ingin membuncah begitu saja di dadaku. Seperti sudah bertahun-tahun terpendam begitu saja. Padahal, aku tidak sedang merindukan apapun. Kecuali – ya, ada yang kurindukan, aku baru ingat – suara-suara bising di peron tempat aku menunggu satu kuda besi yang akan membawaku menjauh dari hiruk pikuk ibukota. ...