Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Menikmati Orgasme Pengetahuan




Mungkin sudah banyak yang membahas soal jenis orgasme yang satu ini. Beberapa di antara kalian juga mungkin sudah mengerti apa yang hendak saya bahas di sini. Yang jelas, ini murni opini saya. Semisal ada kesamaan dengan apa yang diungkapkan orang lain, itu kebetulan semata.

Lagi-lagi soal orgasme, ya? Tenang, ini bukan sesuatu yang buruk. Malah mungkin bagi sebagian orang, ini adalah kewajaran yang menyenangkan.

Menurut KBBI, orgasme memang istilah yang dipakai dalam bidang kesehatan, khususnya berkaitan dengan seksualitas. Orgasme adalah puncak kenikmatan seksual, khususnya dialami pada akhir sanggama. Nah, bagaimana dengan orgasme pengetahuan?

Akhir-akhir ini, ramai dibahas soal bumi menuju dimensi kelima. Topik ini cukup lumrah dalam komunitas-komunitas berbasis spiritual. Apa, sih, dimensi kelima itu? Ini adalah tingkatan saat seluruh penghuni bumi berada pada kesadaran penuh atas eksistensi mereka di alam raya. Fase ini ditandai dengan makin tersebar dan diterimanya pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya tersembunyi, entah sengaja disembunyikan atau memang baru ditemukan.

Pengetahuan-pengetahuan ini umumnya memang agak sulit diterima awam. Bisa jadi karena keterbatasan cara pandang, atau sesederhana tidak ingin menerima sesuatu yang baru, apalagi yang mengandung kontroversi.

Saya sendiri sejak lama paham bahwa jika seseorang dapat melihat makhluk halus (baca: hantu), berarti ia dan makhluk tersebut memang berada dalam satu frekuensi. Akan tetapi, banyak awam menilai bahwa kemampuan tersebut adalah anugerah Gusti. Ehm, bisa jadi iya. Toh saya tidak ingin mereduksi kuasa Gusti. Akan tetapi, saya lebih meyakini teori pertama. Bahwa, siapa pun bisa berada dalam frekuensi yang sama dengan makhluk dari dunia lain asalkan kondisinya memenuhi syarat.

Hal lain, soal burung gagak yang identik dengan kematian. Ini masih berkaitan dengan frekuensi. Burung gagak bisa menangkap frekuensi makhluk lain yang akan habis masa hidupnya. Akan tercium oleh insting burung gagak bahwa organ-organ tubuh si calon mati akan segera berhenti bekerja. Biasanya tidak dalam hitungan waktu yang lama. Dari situlah mitos soal burung gagak terbentuk.

Sebenarnya masih banyak contoh lainnya. Misal tentang kekuatan doa yang erat kaitannya dengan energi dari Semesta. Bahwa, doa-doa yang disertai pembukaan diri terhadap alam raya biasanya akan cepat terwujud. Belum lagi soal konsep surga dan neraka yang oleh sebagian orang dianggap hanya karangan agar manusia takut berbuat kejahatan. Bahwa, tanpa adanya surga dan neraka, jika seseorang ingin berbuat jahat tentu tidak ada yang menghalangi. Sebab, perbuatan itu biasanya datang dari keinginan memenuhi kebutuhan diri.

Pengetahuan-pengetahuan semacam ini dibahas oleh sekelompok orang melalui berbagai macam diskusi, baik daring maupun luring. Peminatnya dari berbagai macam kalangan. Mereka umumnya tidak pernah membatasi identitas peserta diskusi. Tidak peduli apa agamamu, latar belakang pendidikanmu, ras, suku, jenis kelamin dan orientasi seksual, siapa pun boleh bergabung. Syaratnya hanya satu, berani membuka diri terhadap berbagai macam kemungkinan yang akan hadir.

Bagi sebagian kecil orang, diskusi-diskusi seperti ini tak ubahnya aktivitas sanggama. Kau membuka bajumu (membuka pikiran), kau menerima orang lain memasuki tubuhmu (menerima pengetahuan baru), kau bergerak bersamanya (berdiskusi, membahas pengetahuan tersebut), lalu kau orgasme (merasakan puncak kenikmatan menyerap pengetahuan baru).

“Elu sendiri udah pernah ngerasain orgasme pengetahuan, Moy?”

Hahaha … Pake nanya.

Bagi saya sendiri, pengetahuan tidak melulu sesuatu yang berbau sains atau hal-hal rumit. Segala sesuatu yang belum kita ketahui adalah pengetahuan, termasuk itu tentang seni, kuliner, atau hal lain yang bisa kita jumpai di keseharian kita. Saya kerap berbagi pengetahuan soal musik dan film dengan beberapa sahabat. Dan, ketika membahasnya, ada kepuasan tersendiri yang sukar dijelaskan. Apalagi, jika ternyata kami sama-sama menyukai objek tersebut, makin gembira rasanya.

Layaknya orgasme seksual, orgasme pengetahuan bisa dicapai sendiri. Asalkan tadi, kita membuka pintu masuk pengetahuan selebar-lebarnya. Kita bisa bergerak sendiri, mencari sumber-sumber lain untuk menguatkan atau bahkan menambah pengetahuan tersebut. Lalu, merasakan kepuasannya. Akan tetapi, yah, tentunya akan lebih menyenangkan jika aktivitas ini dilakukan bersama partner diskusi (kesayangan). Orgasme yang kalian dapat akan berlipat-lipat nikmatnya.

Jadi, siapkah kalian merasakan nikmatnya orgasme pengetahuan?

---

SEKAR MAYANG
Editor Jentera Pustaka
Pekerja Teks Komersial

Note : For commission work, please contact 0821-4590-7646.

Dez dan Em

 


Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi begitulah ia dipanggil oleh teman-temannya.

Aku mengenalnya sejak dua tahun lalu ketika aku tak sengaja menonton sajian musik akustik di pelataran mal. Aku waktu itu sedang duduk di salah satu bangku kedai kopi, sendirian, menghadap laptop dengan setumpuk tenggat yang harus dituntaskan. Di antara lalu lintas tanganku dari laptop, ponsel, botol air mineral, juga gelas kopi kedua, telingaku menangkap nada-nada itu.

All I Want dari Kodaline. Aku mengenali lirik dan nadanya sebab aku juga kerap memutar lagu itu ketika bekerja. Bukan favorit, tetapi cukup mendinginkan otak saat harus bertempur dengan pekerjaan. Jadi, ketika mendengar intronya, aku benar-benar menjatuhkan pandanganku ke arah lelaki yang memegang gitar sekaligus menyanyikan lagu itu.

Suara Dez biasa saja, sama dengan para penyanyi akustik lainnya. Cukup merdu untuk ukuran siaran langsung dengan peralatan terbatas. Namun, suara itu benar-benar membuat hatiku menghangat. Dan, lepas lagu Kodaline itu, aku malah tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku. Ada sesuatu yang menarikku untuk diam sejenak dan menikmati dua lagu berikutnya. Di akhir lagu ketiga, matanya bertemu denganku.

Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi aku tidak peduli.

Bulan-bulan berikutnya, aku dan Dez cukup kerap berinteraksi. Kami membahas nyaris segalanya. Ia semacam menggilai ilmu pengetahuan, apalagi yang kelihatan rumit untuk orang lain. Sebisa mungkin aku mengimbanginya. Sebab, aku sendiri baru kali ini menemukan lelaki yang punya ketertarikan besar terhadap alam semesta, juga tidak pernah terlalu ambil pusing perihal fisik perempuan. Katanya, ia nyaris tidak peduli dengan bentuk tubuhku, asalkan otakku bisa bekerja dengan baik.

“Memangnya kenapa kalau tubuhmu tidak seperti Scarlet Witch atau Black Widow?” begitu tanyanya saat kukatakan aku benci difoto. “Aku tidak suka kalau kamu selalu insecure seperti itu. You have everything, Em. You also have me. Berhentilah bersikap seolah-olah tidak ada lagi peduli padamu.”

Tak jarang kami berdebat layaknya orang yang benar-benar berlawanan pemikiran. Matanya menyala, berisi kobaran semangat. Tangannya bergerak ke sana kemari, memperlihatkan ketertarikannya dengan topik bahasan yang kami pilih. Kata-kata yang ia gunakan mencerminkan sedalam apa ia berpikir. Jujur, sepertiga masa dari durasi obrolan itu hanya kupakai untuk mengamati bahasa tubuhnya. Ia sungguh lelaki yang berbeda.

Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi kurasa aku mulai menyukainya.

Oh, jangan berpikir terlalu jauh dulu. Aku sedang tidak memikirkan soal berpasangan di masa depan. Tidak, bukan itu. Belum sampai ke sana. Aku menyukai Dez karena ia mencintai seni seperti seorang ibu mencintai anaknya. Tampak tanpa pamrih, tidak mengharap orang lain memuji atau sebangsanya. Itu betulan. Sebab, tiap kali aku memujinya seusai tampil secara akustik di beberapa kesempatan, aku selalu mendapat omelan. Katanya, “Bilang saja suaraku jelek, Em.” Padahal, aku benar-benar sedang memujinya.

Sungguh, kalau ia bukan orang yang istimewa di hidupku, sudah kutinggalkan ia dari dulu. Sayangnya, aku tidak tega berbuat itu. Sekesal apa pun aku dengan Dez—biasanya gara-gara mendebatku soal alur yang kupakai dalam tulisan-tulisanku, atau soal eksistensi Tuhan, atau soal betapa aku tidak menyukai tubuhku sendiri, atau soal warna langit sore hari yang kerap berubah-ubah sesuai intensitas cahaya matahari—aku tidak pernah berpikir untuk menjauh darinya. Semakin aku kesal, semakin aku ingin tetap di dekatnya, menjadi orang yang pertama tahu kabarnya di pagi hari, dan mengucapkan selamat tidur saat malam tiba.

Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi terasa nyaman ketika kuucapkan.

Katanya, itu karena aku dan dirinya berada dalam vibrasi yang sama. Aku tidak mendebatnya kali ini, tetapi muncul pertanyaan dalam otakku: vibrasi apa?

 

***

 

Namanya Em. Penggalan dari Emily. Katanya, supaya orang lain mudah menyebutnya.

Ya, segala sesuatu tentang Em memang mudah, termasuk awal perkenalan kami. Benar-benar semudah membalikkan telapak tangan.

Aku yang menghampirinya lebih dulu ketika ia masih duduk di salah satu bangku Starbucks. Di hadapan Em ada setumpuk kopian naskah atau semacamnya, sebuah laptop yang terbuka, dua botol air mineral yang kosong, serta dua gelas kopi yang salah satunya sudah tandas. Entah, tidak ada alasan spesifik, aku hanya ingin berkenalan dengannya. Sebab, selama aku bernyanyi, ekor mataku menangkap bahwa di sisi kiri ada seseorang yang benar-benar memperhatikanku. Namun, sesungguhnya aku takut. Aku takut mataku kali ini menipuku lebih jauh. Hanya saja, ada bisikan di tempurung kepalaku bahwa kali ini apa yang kurasakan bukan sekadar ilusi. Jadi, menjelang akhir lagu ketiga, kuberanikan diri menatap apa yang aku harap adalah masa depanku.

Namanya Em. Penggalan dari Emily. Katanya, ia selalu menyukai nama dengan satu suku kata.

Sama seperti ia menyukai lagu, buku, dan kopi. Bagi Em, itu perpaduan sempurna dari aroma surga. Aku sempat mendebatnya. Bagaimana bisa aroma surga dimanifestasikan dalam bentuk lagu? Kira-kira satu jam lamanya aku mencecar Em dengan topik itu. Orang lain mungkin tidak akan tahan dengan kebiasaan burukku—kurasa—mempertanyakan segala sesuatu yang kuanggap belum logis. Akan tetapi, Em bertahan, mendengarku dengan saksama, serta menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan kesabaran luar biasa.

Aku bisa melihat dari matanya, ia bukan perempuan biasa, bukan perempuan yang mudah mengungkapkan isi hatinya kepada orang lain. Kalaupun pada akhirnya ia mau bicara, ada hal yang pasti membuatnya nyaman. Atau, versi lainnya yang tidak aku suka: terpaksa. Terpaksa, begitu ia sampaikan saat kutanya soal hubungan terakhirnya dengan seorang lelaki. Em terpaksa meninggalkan lelaki itu karena ia merasa tidak pernah dihargai. Ia mencoba bertahan dalam diamnya semata-mata tidak ingin berkonflik. Namun, rasa sakit itu membuatnya terpaksa bicara, dan pergi. Em tidak suka diamnya dimanfaatkan.

“Rasanya luar biasa lega, Dez, saat aku tahu aku terbebas dari beban seluas es Kutub Selatan. Beban yang berat dan dingin.”

Aku hanya tersenyum sembari menggenggam tangannya. Menguatkan hatinya, membuatnya bersemu lagi, dan menjadikan ia sebagai perempuan indah dalam hidupku.

Namanya Em. Penggalan dari Emily. Katanya, apalah artinya sebuah nama jika kamu tidak mencintai pemiliknya.

Itu betul. Aku tidak peduli jika Em ternyata tidak bernama Em. Aku akan tetap mencintainya sekalipun ia bernama Drew, Amanda, atau Michelle. Aku akan tetap mencintai perempuan yang selalu tahan dengan ide-ide gilaku soal alam semesta, serta kegilaan-kegilaanku lainnya. Bahkan, keluargaku sendiri selalu menyerah ketika dalam sebuah pertemuan aku tiba-tiba melempar sebuah pertanyaan perihal spirit bernama cinta. Mereka akan diam sejenak, pura-pura mengambil minuman di dapur, atau mengecek ponsel mereka, lalu aku berakhir seorang diri di ruangan itu. Itu terjadi tidak hanya satu kali.

“Mereka bukan tidak mau menjawab, Dez. Mereka hanya tidak tertarik dengan tema-tema luar biasa untuk obrolan ringan acara minum teh. Kamu punya aku, Dez. Aku akan selalu mendengarmu, meski mungkin nanti kamu tinggal di sini dan aku pergi ke Venus.” Em lalu tergelak, meledekku dengan wajah tanpa dosa.

Kami berciuman setelahnya. Mempertemukan jiwa kami dalam dimensi dan vibrasi yang sama. Membuat ikatannya semakin kuat dari hari ke hari.

Aku akan tetap mencintai Em, meskipun aku tidak bisa setiap saat menyentuh tubuhnya. Kami kini berjarak satu malam perjalanan dengan bus. Pekerjaannya menuntut Em untuk menjauh dariku. Tidak apa-apa, kataku padanya saat ia bercerita mendapat tawaran bekerja di salah satu grup media besar. Kukatakan seperti itu karena aku tahu mimpi indah Em adalah bergumul dengan lebih banyak lagi naskah. Tidak apa-apa, kataku padanya saat ia menangis di pelukanku malam sebelum tubuhnya meninggalkanku. Ia sempat memintaku ikut dengannya, tetapi terpaksa kutolak. Itulah pertama kalinya aku menolak permintaan Em.

Aku tidak bisa ikut sebab jiwaku telanjur tertanam di kota ini. Biarlah aku menunggu Em menyelesaikan kontrak pekerjaannya. Hanya lima tahun, bukan waktu yang lama. Akan sangat sepadan dengan akhir yang manis nantinya. Aku tidak bisa membelenggu gerak Em dengan sebuah ikatan. Aku tidak ingin mengekang jiwanya yang aku tahu betul mendamba kebebasan. Dan, apa pun yang terjadi nanti, aku akan tetap mencintai Em.


---

SEKAR MAYANG

Editor Penerbit Jentera Pustaka

Pekerja Teks Komersial


Catatan : Cerpen ini ditulis tahun 2021. Salah satu yang akan dimasukkan ke dalam buku Kumpulan Cerpen BELATI SANG TUAN. Versi digital akan dibagikan secara gratis.

Cerpen ini juga tayang di Facebook.

Sumber gambar.

Nug dan Bibirnya

 



Ia akan datang ke kotaku, begitu katanya ketika kami bicara lewat telepon minggu lalu. Dan, ia akan datang sendirian.

Ialah Bunga, perempuan yang sudah dua tahun ini membuatku benar-benar merasakan rindu yang tak tertahankan. Ialah Bunga, yang membuatku setiap hari tak sabar menunggu sapaannya. Ialah Bunga, yang membuatku mengerti bahwa cinta perlu diperjuangkan.

Aku sudah si lobi stasiun sejak tiga puluh menit lalu. Kereta yang membawa Bunga akan datang lima menit lagi. Sungguh, ini akan jadi lima menit terpanjang dalam hidupku. Bagaimana tidak? Aku dan Bunga sama sekali belum pernah bertatap muka secara langsung. Selama ini kami hanya bertegur sapa lewat jaringan internet. Jadi, aku gugup, aku sedikit panik. Ini akan jadi pertemuan pertama kami setelah dua tahun.

Bunga sebenarnya bukan orang yang sama sekali asing dalam hidupku. Mungkin, dulu kami pernah berpapasan di lorong kampus, atau bersinggungan di kantor administrasi, atau bahkan bersebelahan di kedai fotokopi. Kami berada dalam satu kelompok pencinta buku dan mungkin pernah berada di satu forum yang sama, tetapi jalan kami belum pernah benar-benar bertalian.

Semuanya terjadi begitu saja. Aku lebih dulu menghubungi Bunga ketika kulihat ia baru saja memamerkan hasil karyanya. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, aku hanya mengikuti bisikan hati. Dan, di sinilah aku saat ini, menunggunya muncul di pintu kedatangan.

 

***

 

Keretaku melambat. Aku segera menurunkan ransel dari rak di atasku. Aku tidak akan lama di kota ini, mungkin hanya dua hari, tetapi kurasa itu akan sepadan dengan segalanya.

Aku tidak mengenal pria ini sebelumnya. Tidak, sama sekali. Aku hanya pernah mendengar namanya satu atau dua kali ketika teman yang lain bicara soal pembuat sketsa andal di kota ini. Hanya mendengar dan belum pernah melihat karya-karyanya. Oh, ya, namanya Nugroho, tetapi lebih sering dipanggil Nug. Dan, kurasa ia juga termasuk anggota kelompok pencinta buku di kampusku. Aku tidak ingat apakah pernah satu forum dengannya. Mungkin pernah, mungkin juga tidak. Entahlah. Ingatanku hanya sesekali menjangkau wajahnya yang ketika itu masih belia.

Ah, intinya, aku terkejut ketika Nug menelepon untuk membeli salah satu kumpulan cerpenku. Rasanya aneh saja. Ia yang sebelumnya tidak berselisih jalan denganku, tiba-tiba hadir, memberondongku dengan segala pesonanya, membuatku berpikir: Apakah semesta sedang bermain-main denganku? Aku yang awalnya agak membentengi diri akhirnya menyerah. Padahal, kalau saja ia tahu, aku belum lama sembuh dari luka yang lalu. Ketika ia tahu aku memiliki luka, ia berkata, “Aku ingin menyumbang luka untukmu, untuk diksimu, tetapi aku tidak tega. Tidak akan tega, Bunga.”

Dan, di sinilah aku, menunggu kereta benar-benar berhenti supaya aku bisa segera lari dan membenamkan diriku ke pelukannya.

 

***

 

Perempuan itu muncul di pintu kedatangan. Kulihat punggungnya menggendong ransel Rip Curl warna hitam—aku tahu dari logo di bagian talinya—dan di tangannya tergenggam sebuah ponsel. Ia akan berada di kota ini selama dua hari. Lima puluh jam yang akan kujalani, kunikmati, kumasukkan ke dalam memori, dan tidak akan pernah kuhapus.

Begitu melihatku, Bunga langsung berlari. Lenganku membentang, kuterima tubuhnya dengan segera. Aku tidak peduli orang-orang memberi tatapan aneh atau bahkan celetukan bernada sumbang. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mendekap Bunga, menghilangkan masa dua tahun yang luar biasa perih dan tak tertahankan.

“Ehm, Bunga?”

“Ya?”

“Mau sampai kapan kita pelukan di sini?”

Bunga tertawa. Ia lalu melepaskan diri dari pelukanku. “Ayo makan. Aku lapar. Porsi makanan di kereta hanya sanggup memuaskan satu atau dua cacing. Sementara kamu tahu, kan, Nug, aku memelihara satu batalion cacing,” celotehnya, seperti biasa, sanggup membuat kepenatanku seolah-olah sirna dalam sekejap. Suara Bunga agak berbeda dengan yang biasa kudengar lewat telepon. Mendengarnya langsung terasa begitu melegakan, begitu menyenangkan.

Pukul delapan malam, aku dan Bunga sudah duduk di balkon apartemen yang kusewa selama tiga hari. Aku datang lebih dulu kemarin, dari Bandung, sementara Bunga baru bisa sampai kota ini tadi sore. Kata Bunga sewaktu kami merencanakan pertemuan ini, “Aku tidak mau di hotel, Nug. Carikan tempat lain, yang sekiranya kamu pikir aku akan nyaman menempatinya selama dua hari.”

Ah, Bunga, bukankah tempat ternyaman untukmu adalah hatiku? Kamu sendiri yang mengatakannya tepat satu bulan kita menjalin temali kisah.

Aku mendapat apa yang Bunga inginkan untuk kami menghabiskan waktu. Sebuah apartemen di pinggiran kota dengan pemandangan malam hari yang luar biasa menawan. Kami menikmati gemerlap lampu kota, menyesap teh, mendengar kisah masing-masing. Aku dengan perjalanan menggambarku, Bunga dengan segala rangkaian diksinya. Lalu, ketika semua kisah terasa nyaris habis dituturkan, kuberanikan diri menyentuh wajahnya.

 

***

 

Tangan Nug kini berada di wajahku. Rasanya hangat, dengan aroma frangipani yang berasal dari sabun tangan di wastafel. Rasanya hangat, dengan buku-buku sedikit kasar karena terlalu banyak memeluk pensil. Rasanya hangat, dengan ritme belaian yang mulai aku ingat dan aku sukai. Oh, aku tidak tahu ternyata aku begitu mengharapkan tubuhnya hadir secara nyata di hadapanku. Aku masih tidak percaya, aku benar-benar bisa menyentuh raganya malam ini. Masih terasa seperti mimpi, terasa seperti jauh dari jangkauanku. Sungguh, dua tahun yang luar biasa menyakitkan.

Kini, aku dan Nug hanya berjarak … ah, kami tak lagi berjarak. Tanganku pun sudah sedari tadi berada di wajahnya. Meneliti setiap inci kulit sawo matangnya, berusaha merekam gurat-gurat usia di sana. Iya, aku dan Nug tak lagi belia, tak lagi pantas disebut sebagai ABG yang sedang kasmaran, meskipun kami terlihat persis seperti itu.

“Apa yang kamu rasakan, Bunga?”

Aku tidak tahu. Segalanya tampak campur aduk. Aku ingin tertawa, ingin menangis, ingin waktu berhenti berjalan. Aku ingin selamanya seperti ini, aku ingin Nug untuk diriku sendiri, tidak untuk yang lain. Hanya saja, aku harus rela berbagi, rela tidak mendapat utuh.

Just … don’t ever think to leave me, Nug.”

I won’t.”

Seumur hidupku, berciuman adalah hal yang menyenangkan, menggairahkan, dan membuatku hidup. Akan tetapi, menjalaninya dengan Nug, membuatku sadar, segala sesuatunya tidak bisa begitu saja kumiliki. Namun, bukankah manusia masih berhak berharap? Aku dan Nug sudah berkali-kali membahasnya, mempelajari berbagai kemungkinan, mencari celah. Hasilnya tetap sama: aku dan Nug masih harus menunggu, entah berapa lama lagi.

Bibir Nug masih menempel di bibirku. Kami belum ingin berpisah. Kami baru saja mulai, tentu saja tak ingin selesai cepat-cepat. Memang, masih ada empat puluh lima jam lagi, tetapi kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu.

Bibir Nug masih menempel di bibirku. Rasanya manis, sekaligus getir. Sungguh, bukan perpaduan yang indah, tetapi aku tetap ingin menikmatinya. Aku bahkan rela menunggu dua tahun demi momen ini. Dan, aku tidak pernah mendapat bibir seperti milik Nug sebelumnya. Bibir-bibir sebelumnya hanya berisi nafsu akan lubang pada tubuh bagian bawahku, berisi janji-janji manis, berisi kebohongan yang terasa nyata.

Bibir Nug masih menempel di bibirku. Kami membiarkan segalanya terlepas, membiarkan segalanya menemui takdir, membiarkan semesta menamatkan tugasnya. Jalan yang aku dan Nug lalui kemarin amat rumit. Orang lain mungkin akan menyerah begitu saja, mungkin akan memilih jalan lain yang lebih mudah dan tidak melelahkan, tetapi aku dan Nug bertahan.

Bibir Nug masih menempel di bibirku. Entah kapan kami bisa mendapatkan momen ini lagi. Kami benar-benar tidak bisa—dan tidak berani—memikirkannya. Sebab, ketika empat puluh lima jam nanti habis, aku dan Nug harus kembali pada kenyataan yang ada.

---

Sekar Mayang

Editor Penerbit Jentera Pustaka

Pekerja Teks Komersial


Sumber gambar

ARTEMIS





Kata orang, kamu harus berada dalam jarak terlebih dahulu jika ingin merasakan namanya rindu.
Aku bilang, omong kosong.
Mereka tahu apa soal rindu? Mereka tahu apa soal jarak? Mereka hanya tahu lewat omongan orang lain, tetapi tidak pernah merasakannya sendiri. Bahwa, rindu itu bisa terjadi kapan saja, meskipun aku melihat subjeknya setiap hari.

***

Kami memulainya dalam diam, bahkan tak pernah terpikir sebelumnya bahwa kami akan menjalani setapak ini.
Ah, sebentar. Kenapa aku selalu menyebut ‘kami’ seolah-olah benar ada dua orang? Baiklah, aku ralat.
Aku memulainya dalam diam. Yah, sejak kapan aku berani bersuara lebih dulu? Tidak pernah. Aku hanya berani memandangnya dari kejauhan. Jarak terdekatku dengannya hanya, ehm, sepuluh sentimeter, mungkin. Itu, akan kuceritakan nanti.
Aku pertama kali melihatnya ketika ia memegang sebuah gitar akustik. Memangkunya, memainkannya pelan-pelan, menjelajahkan jemarinya pada papan kunci. Ia terlihat begitu sempurna, juga begitu berantakan. Begitu indah, sekaligus amat patah. Begitu bercahaya, tetapi suram di saat yang bersamaan.
Entah berapa lama aku hanya berdiri di balik deretan piano portable sambil memandangnya, tahu-tahu sosoknya sudah menghilang.
“Kamu melamun seperti orang pingsan,” begitu kata rekan kerjaku.
Benarkah? Ya, mungkin aku terlalu larut dalam segala ketidakpastian yang kutangkap dari sosoknya. Dan, itu terjadi hampir setiap hari, ketika ia mengunjungi toko alat musik tempatku bekerja, selama kira-kira lima bulan. Ya, lima bulan! Lima bulan yang penuh kesenyapan karena aku tidak berani memulainya — mengeluarkan suara untuk sekadar memberi tahu sosoknya bahwa aku ada di sini, aku melihatnya, aku mengaguminya, aku ingin dekat dengannya, aku ingin menjamah seluruh ketidakpastian dalam dirinya. Lima bulan yang membuat hidupku seperti jatuh ke jurang tanpa dasar. Dan, ketika dasar jurang mulai tampak, aku memberanikan diri bersuara.
“Artemis,” ucapnya sambil menyambut sodoran tanganku. “Kamu boleh panggil aku Ar supaya lidahmu tidak keseleo,” katanya lagi diiringi cengiran jahil.
“Aku Jo,” balasku.
“Ya, kamu sudah bilang itu tadi.” Dan, cengiran itu muncul lagi.
Artemis.
Bukankah itu nama salah satu dewi dalam mitologi Yunani? Dewi Bulan?
“Dewi Hutan, tepatnya,” katanya ketika suatu hari kami pulang dari menonton konser mini di taman kota. Lalu, ia menjelaskan banyak hal soal sang Dewi Hutan. Aku mendengarkan, tetapi hanya menangkap beberapa hal. Bahwa Artemis memiliki busur dan anak panah emas, memiliki anjing-anjing yang setia menemaninya berburu rusa, memiliki saudara kembar bernama Apollo, dan yang paling kuingat adalah, Artemis tidak pernah menikah.
Entah mengapa, hatiku mencelos mendengar poin terakhir itu.
Ya, ya, ya, aku tahu, yang tidak menikah itu Artemis sang Dewi Hutan, bukan Artemis yang sedang berjalan di sampingku sambil mengunyah biskuit cokelat, bukan Artemis yang dua bulan terakhir ini selalu menungguku sepulang kerja untuk menyusuri setapak taman kota, bukan Artemis yang ketika datang ke tempat kerjaku selalu mengambil gitar akustik di slot nomor lima dan memainkannya selama satu jam, meskipun beberapa kali slot itu diisi gitar yang berbeda, bukan Artemis yang minggu lalu baru kehilangan kucing tua kesayangannya dan ia tidak menangis sama sekali padahal aku tahu itu bohong karena satu jam setelah ia berkabar bahwa kucingnya mati, mata Artemis sembap luar biasa, bukan Artemis yang setiap pagi selama dua bulan terakhir ini selalu mengirimiku pesan singkat menanyakan bagaimana mimpiku semalam. Bukan, bukan Artemis yang itu.
“Jo?”
Tangan Artemis menghentikan langkahku. Kini kami berhadapan. Dalam jarak sepuluh sentimeter — sepertinya — sehingga aku bisa dengan jelas mengamati warna matanya yang luar biasa indah. Cokelat tua sempurna.
“Aku tidak akan ke mana-mana, Jo,” ucap Artemis. Tangannya yang bebas mulai memainkan ujung-ujung rambutku yang menyentuh mantel.
Apa kabar dengan kedua tanganku? Yah, mereka tetap pada tempatnya: di dalam saku mantel. Aku begitu takut membuatnya semakin patah. Atau, mungkin aku takut membuat diriku sendiri patah menjadi jutaan bagian. Sinar Artemis begitu terang, membuatku hangat, menyingkirkan kebekuan yang selama ini bergelayut manja dalam diri.
“Aku lebih banyak tersenyum dalam dua bulan terakhir ini,” ucapnya lagi. Lalu, Artemis membuat kami tidak berjarak lagi. Aku baru menyadarinya ketika merasakan hal ganjil dari tubuhku. Kelembutan itu menyapaku, menarikku perlahan untuk memulai perjalanan menyusuri ladang nektar, membuat cuping hidung berkenalan dengan wangi manis tanpa ingin berhenti menikmatinya.
Ciuman itu, kelembutan yang singkat namun kuat, membuatku berjanji pada diri sendiri, aku harus menjaga Artemis selama sisa hidupnya… atau mungkin hidupku.
Artemis kembali melangkah seolah-olah kami tidak melakukan apa-apa sebelumnya. Ia memasukkan sisa biskuit cokelatnya ke dalam tas dan berkata, “Kita pulang ke apartemenku kali ini, Jo. Aku akan memasak ramen pedas. Kita bisa makan sambil menonton rekaman konser Lindsey Stirling. Atau, kau mau nonton Coldplay lagi? Tidak pernah bosan, ya? Atau kau mau kita ke tempat penampungan hewan dulu sebelum ke apartemenku? Aku sebenarnya amat butuh pengganti Queen. Bulu-bulu lembut itu bisa menenangkan sarafku, Jo. Percayalah!” Tawa cerianya menggema sampai ke bilik-bilik jantungku.
Layaknya penggambaran sang Dewi Hutan sesungguhnya, langkah Artemis begitu ringan hingga nyaris seperti berlari. Aku jadi membayangkan sosoknya memakai gaun sewarna tanah sebatas lutut, dengan kaki-kaki telanjangnya, dengan busur di tangannya dan sekumpulan anak panah di punggungnya, dengan beberapa ekor anjing berlarian mengiringi langkahnya, dengan rambut panjang diikat semaunya, dengan wajah ceria seolah-olah Zeus sendiri tidak mengizinkan putrinya bertambah tua.
Semua yang kubayangkan serasa nyata di mataku. Sungguh. Hanya saja, imajinasiku terhenti ketika tubuh Artemis tergeletak di tengah jalan. Tak jauh darinya, sebuah mobil berhenti dengan roda-roda yang sedikit berasap.
Aku membatu. Aku membeku. Lagi. Seperti selamanya.

***

Aku masih orang yang sama setiap harinya. Setidaknya, aku masih bekerja di tempat yang sama karena bosku termasuk orang yang malas melakukan wawancara kerja dengan calon pegawai baru. Aku bukannya tidak pernah melakukan kesalahan di tempat kerja. Aku kerap melamun, di balik deretan piano portable, berlama-lama memandang titik yang sama, sampai salah satu rekan kerjaku membawaku kembali menjejak lantai toko. Semisal boleh menyombong, aku cukup andal membantu konsumen memilih alat musik yang tepat untuk mereka. Kebanyakan akan datang kembali bersama orang lain — entah teman, entah salah satu anggota keluarganya — dan membeli alat musik di sini. Mungkin itu juga sebabnya bosku tidak mau mempekerjakan orang lain.
Aku tidak pernah mengalami kesulitan finansial, meskipun isi dompetku tidak setebal Chris Martin, Mike Shinoda, atau Ed Sheeran. Gaji dari toko ini memang tidak besar, hanya sanggup membuatku bertahan hidup dengan makan dua kali sehari dan membayar sewa flat. Akan tetapi, aku punya cadangan penghasilan dari setidaknya beberapa kelas privat gitar akustik di sebuah tempat kursus bermusik. Kelas-kelas itu pulalah yang menolongku… menghalau sosok Artemis dari pikiranku, dengan susah payah.
Tidak banyak yang bisa kuceritakan selepas tabrakan itu. Aku hanya mengingatnya dengan samar. Raungan sirene ambulan, kelebat merah-biru lampu mobil polisi, salju tipis yang mulai turun, dan… wajah Artemis yang membiru. Bahkan, tidak ada yang menyadari bahwa Artemis tidak sendirian saat itu. Aku dan tubuhnya amat berjarak. Tidak ada yang menghampiriku, tidak juga polisi-polisi itu. Aku bergeming, hingga semuanya kembali sepi. Seorang pria tua menyenggol lenganku, membawaku kembali menjejak lantai taman kota.
Beberapa hari setelah tabrakan itu, bosku mengajakku bicara. Itu agak aneh, mengingat lelaki tua itu hanya berurusan denganku untuk masalah pekerjaan, bukan soal kehidupan pribadi. Matthew, bosku itu, beberapa kali mengajakku duduk di kafe, membelikanku secangkir kopi dan sepotong keik, bertanya soal kabarku hari itu. Ritual itu bertahan hingga kini, meski hanya seminggu sekali. Hanya saja, setelah dua kali traktiran dari Matthew, aku mulai membayar kopiku sendiri.
Hal-hal ajaib terjadi di situ. Fakta-fakta yang membuatku terkejut, membuatku paham mengapa Artemis bisa hadir di hidupku.
Matthew mengenal Artemis. Ia dan ayah Artemis berteman sejak masih muda, sejak masih menjadi kru sebuah grup musik. Sayangnya, ayah Artemis terlalu banyak minum, hingga membuat tubuhnya menyerah, membuat Artemis yang masih tiga belas tahun kala itu tenggelam dalam permainan gitar akustik — gitar tua peninggalan sang ayah. Setelah kematian ayah Artemis, Matthew memutuskan berhenti menjadi kru dan membuka toko alat musik kecil dari tabungannya selama bekerja pada grup musik itu. Lelaki tua itu juga yang membantu ibu Artemis selama di rumah sakit.
Intinya, aku masih memiliki Matthew yang selalu bersedia berbagi kabar soal Artemis. Matthew pulalah yang selalu mengingatkanku agar tidak terkejut jika suatu saat Artemis hanya akan melewatiku.
Aku mengerti.
Aku sudah bersiap untuk segalanya, termasuk bersiap kehilangan Artemis pada akhirnya.

***

Artemis duduk memangku gitar akustik. Gitar dari slot nomor satu.
Sudah dua puluh hari berturut-turut aku melihatnya lagi setelah lima puluh dua bulan mataku tak menangkap sosoknya. Permainan gitarnya tetap sama. Indah, menyiratkan kelembutan, seperti yang pernah aku rasakan. Ah…
Sesuai saran Matthew, aku tidak menyapa Artemis. Gadis itu pun tidak pernah menoleh ke arahku. Entah kenapa. Aku seperti tak kasatmata baginya. Ia hanya menyapa Matthew dan berlama-lama memeluk lelaki tua itu. Kadang, aku kembali menangkap rasa patah yang dulu pernah kulihat dari wajahnya, sebelum akhirnya menyadari, bahwa akulah yang patah, akulah yang tumbang, akulah yang berdarah.
Selesai dengan gitarnya, Artemis berdiri menghampiri sang ibu yang setia menunggunya sembari duduk di sofa di sudut toko. Ketika ibunya sudah keluar dari toko, Artemis mendadak berhenti di ambang pintu. Ia berbalik dan langsung menatapku.
Ada jeda lama yang kurasakan seolah-olah waktu berhenti bergerak. Mata kami bertemu, berusaha bicara tanpa kata. Sungguh, ini seperti menggapai-gapai udara ketika kau tenggelam, seperti meraba dalam gelap. Aku bingung menerjemahkan tatapan mata Artemis. Aku begitu sibuk dengan pikiranku hingga tak menyadari Artemis sudah berada di hadapanku. Kami hanya terhalang satu piano portable.
Artemis tersenyum dan berkata, “Aku baru menyadari ada orang lain di sini.”
Aku balas tersenyum karena sesungguhnya aku masih bingung dengan segalanya, termasuk makna dari ucapannya yang baru saja.
Artemis tetap seperti Dewi Hutan dalam bayanganku selama ini, kecuali tatapan matanya. Di balik mata cokelat tuanya yang selalu sempurna, aku melihat versi Artemis yang berbeda. Entah apa yang lain dari dirinya.
Sebuah tangan berkulit pucat terulur ke arahku. “Aku Artemis,” katanya. “Boleh kutahu namamu?”
Oh, tidak!

--- moy ---



Melodi Hujan




Apa yang akan kita dapat dari hujan? Tidak ada. Hanya gigil dan kuyup. Mungkin juga aroma tanah basah pada awalnya. Menyenangkan, tetapi terlalu lekas berlalu. Menyenangkan, tetapi tidak cukup menghalau sesuatu yang tak ingin kurasakan. Menyenangkan, tetapi tidak mampu mempertahankan senyum di wajahku.

Lalu, kamu datang mengacaukan pikiranku soal hujan.

Katamu, “Gigil? Pakailah jaket berlapis-lapis. Kuyup? Ya, jangan keluar rumah, Moy!”

Ingin sekali kubekap mulutmu itu, Ru, tetapi yang kaukatakan itu memang benar adanya. Aku terlalu ingin menikmati hujan hingga tak sadar sudah berada di halaman hingga aku perlu menenggak bergelas-gelas teh jahe untuk membuat tubuhku kembali normal.

Katamu, “Ada hal lain yang bisa kita lakukan saat hujan, Moy.”

Ya, oke, aku tahu semua rumusnya. Kita bisa membaca buku, memasak mi instan dengan kuah pedas, mencuci baju, membersihkan loteng, memberi makan kucing-kucing tetangga yang entah mengapa lebih suka berteduh di tempat kita daripada di rumah tuannya sendiri, menata ulang kepingan cakram film, atau sesederhana tidur demi kecantikan.

Katamu, “Itu rumus kuno, Moy.”

“Baiklah, lalu apa saranmu, Ru?”

Kamu mendekat dengan kecepatan cahaya, lalu menangkup wajahku dengan kehati-hatian super.

Ini entah kali keberapa aku bisa melihat warna matamu yang unik itu, Ru. Tidak hitam, tidak juga cokelat, tetapi tetap hangat… dan teduh. Mata yang tak pernah lelah melihat tingkahku yang mungkin amat menyebalkan bagi sebagian besar orang, mata yang selalu mencari hal baik dari diri yang hina ini, mata yang kerap menunjukkan keindahan tersembunyi bahkan dari seonggok dedaunan kering yang bertumpuk di sudut taman kota.

“Dengarkan suara hujan di luar, Moy…”

Apa? Mendengarkan hujan? Aku yakin, mataku membelalak sampai titik terjauhnya. Buat apa mendengarkan hujan? Apa kamu sudah tertular otak kacauku, Ru?

“…, lalu kita bisa berdansa dengan melodinya,” sambungmu.

Rasanya aku masih memproses ucapanmu dan baru separuh jalan ketika kamu meraih tanganku dan menaruhnya di bahumu. Kamu merengkuh tubuhku, memecah jarak yang ada. Kamu membawa kepalaku bersandar di dadamu, mengecup pelan puncak kepalaku, dan berkata, “Dengarkan saja, Moy.”

Kita pun berdansa dengan gerakan yang paling sederhana. Kamu membimbing tubuhku yang limbung ini dengan manisnya, membiarkan aku menemukan sendiri ritmeku.

Dan, ternyata kamu benar, Ru. Aku mendengarnya. Aku mulai menangkap melodi itu. Beberapa nada yang tidak asing di telingaku. Terangkai, terlantun, tersaji, membawaku menjauh dari ingar bingar pikiranku sendiri. Pikiran-pikiran yang membuatku tak pernah menikmati lantun indah dari apa pun yang ada di sekitarku. Pikiran-pikiran yang membuatku kerap merasakan denyut-denyut kesakitan di kepala. Pikiran-pikiran yang juga tak jarang membuat jemari tangan kiriku kebas, yang lalu rasa itu menjalar dengan cepat ke dadaku, tepat menuju hati. Pikiran-pikiran yang menyebalkan!

Ah, Ru, inginnya aku menikmati melodi itu lagi. Inginnya aku berdansa dalam dekapanmu lagi. Inginnya aku menghapus semua pikiran-pikiran yang membuatku terpuruk. Namun, rupanya itu terakhir kalinya aku merasakan keindahan yang kaubawa bersama jiwa manismu.