Aku suka
hujan, tapi tidak suka menjadi basah karenanya. Aku suka hujan, ketika aku
memang sedang tidak melakukan apa-apa dan hanya menontonnya dari jendela
kamarku. Aku suka hujan karena suaranya menenangkan. Tidak ada musik lain yang
bisa menyamai alunan merdu dari rintik hujan, tidak juga musik klasik yang sering
diputar ayahku ketika ia membaca di perpustakaan. Aku suka hujan karena
percikan airnya menyejukkan wajahku.
Tapi, hari
ini aku tidak menyukai hujan sama sekali. Hujan pagi ini membuatku harus
memakai mantel jika tidak ingin seragamku basah kuyup sesampainya di sekolah. Aku
tidak suka memakai mantel hijau jelek yang punya terlalu banyak kantong di
bagian depannya.
“Ibu, boleh
aku belajar di rumah saja hari ini?”
“Kenapa?”
Dahi Ibu berkerut-kerut. Ya, aku tahu, aku tidak biasanya seperti ini. Biasanya,
aku selalu bersemangat ke sekolah. Tapi sekali lagi, tidak pagi ini, pagi di
mana hujan turun terlalu lebat.
“Tidak ada apa-apa,
Bu. Aku hanya ingin belajar di rumah,” jawabku.
“Kamu tidak
bisa melakukan itu, Angel. Kamu tidak sakit, dan Ayah sudah siap mengantarmu ke
sekolah.”
Aku diam
saja. Aku tidak bisa menemukan alasan yang tepat agar Ibu membiarkanku di rumah
saja. Ya, baiknya kukatakan saja yang sebenarnya.
“Aku tidak
suka mantel hijau itu, Ibu. Mantel itu jelek sekali. Teman-teman selalu tertawa
ketika melihatku memakai mantel itu. Mereka bahkan tertawa terlalu keras.”
“Oh, Angel,”
desah Ibu. Ia lalu berlutut di hadapanku. Kini wajah kami sejajar. Meskipun begitu,
aku belum berani menatap mata Ibu. Aku takut itu akan menyulut kemarahannya. “Angel…”
Ibu mengangkat daguku, membuatku kini harus menatap wajahnya. “Kamu tidak suka
mantel hujanmu?” tanya Ibu.
Aku
mengangguk.
“Tapi mantel
itu bagus, Angel. Mantel itu kuat dan tidak mudah rusak. Kamu bisa menghitung
sudah berapa lama mantel itu membalut tubuhmu ketika hujan datang?”
“Ehm… sudah
lama sekali. Sejak aku kelas satu SD.”
“Bisakah kau
menghitungnya?”
Aku
menghitung dalam hati dan memakai beberapa jariku untuk mempermudah
hitungannya.
“Sudah tiga
tahun, Bu,” jawabku.
“Nah, sudah
lama sekali, kan? Dan mantel itu masih amat baik kondisinya.”
“Iya, tapi
aku malu dengan teman-teman, Bu. Mereka selalu menertawakanku. Mereka bilang,
mantelku terlalu tua dan… ehm, terlalu jelek.”
“Angel, mau
dengar pendapat Ibu soal teman-temanmu?”
Aku
mengangguk.
“Mereka
hanya iri karena mereka tidak punya mantel sekuat milikmu. Mantel hujanmu tidak
hanya sanggup menahan gerimis, tapi juga tidak mudah tertembus hujan yang
lebat. Kakakmu sudah membuktikannya, Angel. Seragamnya tidak pernah kebasahan.”
“Tapi, Bu…”
“Ya, mungkin
kamu benar,” Ibu memotong ucapanku, “mantel itu memang sudah tua. Ayah dan Ibu
membelinya ketika Brian masih kelas dua SD.”
“Bu…”
“Ya?”
“Aku suka
mantel itu, tapi aku tidak suka warnanya,” akhirnya aku mengakuinya. “Warna
hijau tua itu membuat rambutku makin terlihat merah menyala.”
Tanpa kuduga
sebelumnya, Ibu malah tertawa mendengar ucapanku. Apa ada yang salah?
“Bu, kenapa
tertawa?”
“Angel…,
Angel…. Kenapa tidak kamu katakan saja kamu tidak suka warnanya? Kenapa harus
memakai alasan teman-teman menertawakanmu?”
“Tapi, Bu,
mereka memang menertawakan mantelku, jauh sebelum aku sadar aku tidak suka
warnanya.”
Ibu berhenti
tertawa. Tangannya membelai lembut kepalaku.
“Dengarkan
Ibu,” suara Ibu begitu lembut di telingaku. “Jumat minggu ini Ibu akan
mengambil jatah libur. Ibu akan menjemputmu dari sekolah dan kita akan
berjalan-jalan. Kita akan berbelanja macam-macam barang, dan salah satunya
adalah… mantel hujan baru untukmu.”
“Benarkah,
Bu?”
Ibu tersenyum
dan mengangguk. “Iya, betul. Kamu boleh memilih sendiri warnanya, Angel.”
“Ah, terima
kasih, Bu.” Aku memeluknya lama sekali, lalu mencium kedua pipinya.
Dan hal lain
yang mengejutkan adalah, ketika aku menginjak halaman rumah, langit sudah tidak
meneteskan air lagi. Sinar matahari perlahan muncul. Cerah sekali, secerah
suasana hatiku pagi ini.
Note: Cermin ini dibuat untuk tujuan pembelajaran di kelas ekstrakulikuler menulis MI Alam
Jamur, Denpasar.
bagus..
ReplyDelete