Apa yang
akan kita dapat dari hujan? Tidak ada. Hanya gigil dan kuyup. Mungkin juga
aroma tanah basah pada awalnya. Menyenangkan, tetapi terlalu lekas berlalu.
Menyenangkan, tetapi tidak cukup menghalau sesuatu yang tak ingin kurasakan.
Menyenangkan, tetapi tidak mampu mempertahankan senyum di wajahku.
Lalu, kamu
datang mengacaukan pikiranku soal hujan.
Katamu,
“Gigil? Pakailah jaket berlapis-lapis. Kuyup? Ya, jangan keluar rumah, Moy!”
Ingin
sekali kubekap mulutmu itu, Ru, tetapi yang kaukatakan itu memang benar adanya.
Aku terlalu ingin menikmati hujan hingga tak sadar sudah berada di halaman
hingga aku perlu menenggak bergelas-gelas teh jahe untuk membuat tubuhku
kembali normal.
Katamu,
“Ada hal lain yang bisa kita lakukan saat hujan, Moy.”
Ya, oke,
aku tahu semua rumusnya. Kita bisa membaca buku, memasak mi instan dengan kuah
pedas, mencuci baju, membersihkan loteng, memberi makan kucing-kucing tetangga
yang entah mengapa lebih suka berteduh di tempat kita daripada di rumah tuannya
sendiri, menata ulang kepingan cakram film, atau sesederhana tidur demi
kecantikan.
Katamu,
“Itu rumus kuno, Moy.”
“Baiklah,
lalu apa saranmu, Ru?”
Kamu
mendekat dengan kecepatan cahaya, lalu menangkup wajahku dengan kehati-hatian
super.
Ini entah
kali keberapa aku bisa melihat warna matamu yang unik itu, Ru. Tidak hitam,
tidak juga cokelat, tetapi tetap hangat… dan teduh. Mata yang tak pernah lelah
melihat tingkahku yang mungkin amat menyebalkan bagi sebagian besar orang, mata
yang selalu mencari hal baik dari diri yang hina ini, mata yang kerap
menunjukkan keindahan tersembunyi bahkan dari seonggok dedaunan kering yang
bertumpuk di sudut taman kota.
“Dengarkan
suara hujan di luar, Moy…”
Apa?
Mendengarkan hujan? Aku yakin, mataku membelalak sampai titik terjauhnya. Buat
apa mendengarkan hujan? Apa kamu sudah tertular otak kacauku, Ru?
“…, lalu
kita bisa berdansa dengan melodinya,” sambungmu.
Rasanya aku
masih memproses ucapanmu dan baru separuh jalan ketika kamu meraih tanganku dan
menaruhnya di bahumu. Kamu merengkuh tubuhku, memecah jarak yang ada. Kamu
membawa kepalaku bersandar di dadamu, mengecup pelan puncak kepalaku, dan
berkata, “Dengarkan saja, Moy.”
Kita pun
berdansa dengan gerakan yang paling sederhana. Kamu membimbing tubuhku yang
limbung ini dengan manisnya, membiarkan aku menemukan sendiri ritmeku.
Dan,
ternyata kamu benar, Ru. Aku mendengarnya. Aku mulai menangkap melodi itu.
Beberapa nada yang tidak asing di telingaku. Terangkai, terlantun, tersaji,
membawaku menjauh dari ingar bingar pikiranku sendiri. Pikiran-pikiran yang
membuatku tak pernah menikmati lantun indah dari apa pun yang ada di sekitarku.
Pikiran-pikiran yang membuatku kerap merasakan denyut-denyut kesakitan di
kepala. Pikiran-pikiran yang juga tak jarang membuat jemari tangan kiriku
kebas, yang lalu rasa itu menjalar dengan cepat ke dadaku, tepat menuju hati.
Pikiran-pikiran yang menyebalkan!
Ah, Ru,
inginnya aku menikmati melodi itu lagi. Inginnya aku berdansa dalam dekapanmu
lagi. Inginnya aku menghapus semua pikiran-pikiran yang membuatku terpuruk.
Namun, rupanya itu terakhir kalinya aku merasakan keindahan yang kaubawa
bersama jiwa manismu.
0 comments:
Post a Comment